Ilustrasi distribusi batu bara milik PT RMK Energy Tbk (RMKE) / Dok. RMK Energy
Nasional

Transisi Energi Fosil Ke EBT Tanpa Andalkan APBN, DEN: Harus Siasati

  • Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha menilai bahwa transisi energi fosil ke EBT tanpa mengandalkan APBN bukan hal yang mudah.
Nasional
Mutia Yuantisya

Mutia Yuantisya

Author

JAKARTA – Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan bahwa transisi energi fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) tanpa mengandalkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) bukan perkara mudah.

Menurutnya, kondisi menjadi tambah berat dengan berlebihnya pasokan listrik saat ini.

"Kita harus mensiasati sedemikian rupa karena PLN bilang over supply. Lalu kita ada RUPTL yang sudah ditandatangani hingga 2030. Itu sudah menunjukan arah kalau kita lebih greener," katanya yang dilansir dari PLN, Sabtu, 11 Desember 2021.

Pasalnya, penerapan program pencampuran biomassa dengan batu bara atau Co-firing pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dilakukan PT PLN (Persero) dinilai tepat untuk mendukung transisi energi dari fosil ke Energi Baru Terbarukan (EBT) tanpa memberatkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).

Menurut Anggota DEN Satya Widya Yudha, situasi dilematis sektor kelistrikan ini harus disiasati.

Mengingat, pemerintah ingin menggenjot pemanfaatan EBT tanpa membebani APBN.

Namun, saat ini harga listrik dari pembangkit berbasis EBT sebagian besar belum kompetitif dibanding batu bara.

Dikatakan bahwa saat ini, harga pembangkit listrik yang mampu bersaing dengan PLTU hanyalah PLTS.

Namun, kapasitas pembangkit yang memanfaatkan energi sinar matahari tersebut kecil dibandingkan kemampuan PLTU.

"Begitu kita kurangi fosilnya diganti dengan renewable energy dengan harga hari ini, dimana yang paling murah adalah PLTS. Hidro masih bisa berkompetisi tapi tidak semua bisa rendah, PLTP juga seperti itu," tuturnya.

Dia mengungkapkan bahwa Co-firing merupakan salah satu siasat yang tepat untuk meningkatkan porsi EBT dan mengurangi emisi karbon, sehingga target net zero emmision pada 2060 dapat tercapai.

"Karena dengan adanya Co-firing itu berarti PLTU eksisting disuntik biomassa. Itu bisa kurangi emisi karbon, sehingga cita-cita kita di 2060 tetap jalan," katanya.

Anggota DEN Satya Widya Yudha menilai bahwa saat ini, Indonesia sebagai negara berkembang belum mencapai puncak emisi.

Berdasarkan perhitungan DEN dengan prediksi pertumbuhan ekonomi enam persen, Indonesia baru keluar dari golongan negara dengan pendapatan sedang ke tinggi pada 2043 dan pada saat itu barulah emisi Indonesia berada di titik puncak.

Sektor yang menjadi penyumbang besar pun bukan energi tetapi manufaktur dan jasa. 

"Maka kita harus gunakan beberapa cara agar sektor ini juga berkontribusi pada pengurangan emisi karbon," katanya.