<p>Bank sentral Korea Selatan / Bloomberg</p>
Industri

Tren Akuisisi Bank RI oleh Investor Negeri K-Pop dan Drakor Tak Pernah Kendor

  • Ternyata, investor asal Korea Selatan telah membenamkan modal triliunan rupiah di Indonesia untuk mengakuisisi sejumlah bank-bank Tanah Air.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Drama serial, film, hingga budaya musik pop Korea Selatan yang disebut K-Pop, memang tengah digandrungi masyarakat dunia, termasuk Indonesia.

Budaya Negeri Ginseng itu merasuk melalui berbagai platform digital hingga media sosial, langsung ke ponsel dan gawai milik generasi milenial, ibu-ibu, hingga masyarakat luas di Indonesia. Tak jarang, video musik yang diunggah di platform YouTube maupun tanda pagar (hashtag) di Twitter terkait K-Pop selalu menjadi trending topic di Tanah Air.

Ternyata, tak cuma drama Korea (drakor) dan K-Pop yang menembus masyarakat Nusantara. Korea Selatan juga tampak kian gencar berekspansi mencengkeram bisnis dalam industri jasa keuangan di Tanah Air. Dalam beberapa tahun terakhir, akuisisi maupun penetrasi ke perbankan banyak dilakukan oleh investor Negeri Boyband dan Girlband K-Pop ini.

Teranyar, KB Kookmin Bank menegaskan komitemennya untuk menjadi pemegang saham pengendali PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) dengan persentase kepemilikan 67%.

Penambahan modal lewat private placement tersebut membuat persentase kepemilikan saham lama bakal terdilusi hingga 50,07%. Hasil dari aksi korporasi nantinya akan menambah modal dasar perseroan menjadi Rp3,5 triliun dari posisi saat ini Rp2,5 triliun.

Per 31 Juli 2020, saham Bank Bukopin dimiliki oleh KB Kookmin Bank 33,9% dan Bosowa Corporindo 23,4%, sedangkan Negara Republik Indonesia mengempit 6,37%, dan masyarakat, termasuk Kopelindo dengan total kepemilikan saham publik mencapai 36,33%.

Setelah private placement, saham Bank Bukopin dimiliki oleh KB Kookmin Bank 67% dan Bosowa Corporindo 11,66%, Negara Republik Indonesia menggengam 3,17%, dan masyarakat, termasuk Kopelindo dengan total kepemilikan saham publik mencapai 18,11%. 

KB Kookmin Bank asal Korea Selatan resmi menguasai mayoritas saham Bank Bukopin. / Reuters

Dampak Tren Akuisisi

Maraknya tren akuisisi saham perbankan, dinilai dapat mendatangkan dampak positif dan negatif. Hal itu dijelaskan oleh Peneliti Bidang Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap Pulungan.

“Jadi, akuisisi perbankan oleh (investor) asing bisa dilihat dari dua sisi, yakni sisi positif dan negatif,” kata Abdul saat berbincang dengan reporter TrenAsia.com, beberapa waktu lalu.

Dari sisi positif, ujarnya, tindakan akuisisi tersebut dapat menutup gap ketersediaan dana di dalam negeri. Menurutnya, dana di dalam negeri sangat terbatas, terlebih saat kondisi ekonomi sedang sulit seperti sekarang.

“Kalaupun ada investor domestik yang ingin membeli, kondisi saat ini dinilai masih sulit, apalagi bagi pemerintah,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjut Abdul, pada saat investor asing masuk, setidaknya persoalan yang dialami oleh perbankan bisa diatasi. Hal ini penting agar permasalahan tidak berlanjut dan menimbulkan risiko sistemik terhadap bank-bank lain.

“Akuisisi tersebut dapat mengamankan bank dari krisis-krisis sistemik. Tidak bisa dimungkiri, satu bank dengan bank lainnya pasti memiliki keterkaitan aset, misalnya dari sisi liabilitas,” jelas Abdul.

5 bank kakap asal Korea Selatan / Foto: Medium.com

Dana Segar

Senada dengan argumen tersebut, Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah lebih memandang dampak positif masuknya modal asing ke perbankan Indonesia.

“Selain mendapatkan dana segar, bank juga mendapat bantuan manajemen yang lebih baik, termasuk pengelolaan dan pengembangan teknologi,” ungkap Piter.

Pergeseran pengendali saham oleh KB Kookmin Bank, misalnya, Direktur Utama Bank Bukopin Rivan A. Purwantoro meyakini bahwa investor tersebut akan membawa perubahan yang lebih baik di sistem produk digital.

Rivan menyebut, salah satu upaya KB Kookmin Bank, yakni rencananya mengintegrasikan aplikasi Liiv yang telah berkembang di beberapa negara, untuk masuk ke Indonesia. “KB Kookmin Bank akan membawa perubahan produk digital, yakni dengan mengoneksikan aplikasi Liiv dengan aplikasi Wokee milik Bank Bukopin,” ungkapnya di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Aplikasi Liiv merupakan platform keuangan yang dirancang untuk memudahkan nasabah mengelola keuangan tanpa transaksi tunai. Saat ini, lanjutnya, transaksi digital sudah menjamur dilakukan oleh perbankan dengan cara contactless atau membayar dengan memindai QRIS.

NIM Bikin Tergiur

Menurut Piter, hal ini akan membantu perbankan Tanah Air dapat bersaing di kancah pasar global. Di samping itu, tren akuisisi perbankan juga menunjukkan bahwa sektor ini sangat menarik untuk dilirik investor asing. Tingginya margin bunga bersih (net interest margin/NIM) menjadi salah satu alasan.

Rata-rata NIM perbankan di Indonesia tergolong tinggi. Di kawasan Asia Tenggara, NIM Indonesia lebih unggul dibandingkan dengan Singapura sebesar 1,6% per Desember 2018. Tiga bank terbesar di Singapura, seperti DBS, OCBC dan UOB pada kuartal II tahun lalu, masih membukukan NIM pada kisaran 1,6%-2,1%. Sementara itu, Filipina pada kuartal II 2019 membukukan NIM 3,62%.

Hal ini menjadi pengaruh kuat yang menyebabkan investor asing berbondong-bondong untuk melirik perbankan di Indonesia. Potensi bank juga dinggap sangat besar dalam menyalurkan produk-produknya apabila melihat banyaknya jumlah penduduk di Indonesia.

Suasana pelayanan nasabah di Kantor Pusat Bank Bukopin di Jalan MT Haryono, Pancoran, Jakarta, Jumat, 3 Juni 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Tidak Perlu Anti Asing

Dalam menanggapi tren tersebut, Piter mengatakan bahwa masyarakat tidak perlu melihatnya dengan kacamata anti asing. “Bank-bank yang dikuasai oleh investor asing, salah satunya Bank Bukopin, tetap menjadi bank nasional di Indonesia,” ujarnya.

Dalam hal ini, lanjutnya, Bank Bukopin justru diperkuat untuk memberikan layanan terbaik kepada nasabah di Indonesia, bukan nasabah atau masyarakat di Korea Selatan.

Namun, seperti diketahui, proses pengambilalihan saham tersebut menimbulkan pro dan kontra. Sejumlah gugatan perdata dan tata usaha negara dilayangkan oleh PT Bosowa Corporindo untuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator. Selain itu, pemegang saham minoritas juga menggugat jajaran direksi Bank Bukopin selaku manajemen perusahaan.

Direktur Utama Bosowa Rudyantho memaparkan sejumlah alasan gugatan tersebut yaitu karena keputusan OJK tentang penilaian kembali Bosowa sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) telah melanggar sejumlah pasal dari Peraturan OJK Nomor 34 Tahun 2018.

Menurut dia, keputusan Dewan Komisioner (Dekom) OJK Nomor 64/KDK.03/2020 tersebut melanggar Pasal 1 ayat 3 mengenai definisi Pemegang Saham Pengendali (PSP).

“Bosowa sudah bukan pengendali sejak Juli 2018, karena jika merujuk pada POJK, yang disebut PSP adalah pemegang saham minimal 25 persen dan atau melakukan kontrol. Faktanya, Bosowa hanya memegang saham 23 persen,” kata Rudyantho dalam keterangan resmi di Jakarta, Kamis, 27 Agustus 2020.

Dia menilai, OJK juga melanggar Pasal 6 ayat 2, terkait tata cara/tahapan penilaian kembali, karena Bosowa tidak pernah diberitahukan adanya penetapan dan penyampaian hasil sementara penilaian kembali kepada Pihak Utama yang dinilai Kembali, meski sudah terjadi pertemuan.

Gugatan Pidana

Sementara itu, kelompok pemegang saham minoritas 7% di dalam Bank Bukopin, menggungat direksi perseroan karena dinilai tidak transparan.

Direktur Utama Inkud Portasius Nggedi mengungkapkan, para pemegang saham minoritas hanya diberitahukan jadwal pelaksanaan aksi korporasi dan jumlah saham yang diterbitkan, tanpa diberi informasi tentang harga pelaksanaan, dasar, dan penilaian.

Di samping itu, Portasius menilai pengambilalihan keputusan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang digelar pada 25 Agustus 2020 lalu, tidak sesuai dengan POJK 15/POJK.04/2020 tentang Rencana dan Penyelenggaraan RUPS.

Mata acara pengambilalihan bank, ujarnya, harus dihadiri oleh 3/4 pemegang saham dengan keputusan ¾ pemegang saham yang hadir. Hal ini sesuai dengan Pasal 43 huruf a dan b.

Alhasil, manajemen perseroan angkat bicara dan membantah sangkaan tersebut. Rivan sebagai Direktur Utama menegaskan bahwa perseroan telah melakukan aksi korporasi sesuai ketentuan yang berlaku.

“Tidak ada aksi korporasi kami yang tidak transparan. Pelaksanaan Penawaran Umum Terbatas (PUT) V maupun private placement, diberitahukan kepada seluruh pemegang saham,” ungkapnya. Di samping itu, persetujuan juga selalu diajukan kepada OJK sebagai regulator dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI).

Boyband BTS asal Korea Selatan / YouTube

Potensi Negatif

Sebaliknya untuk sisi negatif, Abdul menyebut penguasaan asing terhadap perbankan cenderung tidak menjalankan fungsi intermediasi dengan baik.

“Asing biasanya lebih senang mengambil dari segi income saja, dibandingkan melaksanakan penyaluran kredit,” katanya.

Dampak negatif lainnya, Abdul menjelaskan bahwa akuisisi perbankan oleh asing dapat memperburuk defisit transaksi berjalan dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh adanya transfer keuntungan ke luar negeri.

Apabila neraca transaksi berjalan memburuk, ungkap Abdul, maka akan berdampak pada nilai tukar rupiah maupun faktor-faktor ekonomi makro lainnya.

Berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), defisit transaksi berjalan pada kuartal II-2020 sebesar US$2,9 miliar atau 1,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Realisasi tersebut lebih rendah ketimbang kuartal sebelumnya yang mencapai US$3,9 miliar atau 1,4% dari PDB.

Front office Bank Hana. / Dok. PT Bank KEB Hana Indonesia

Sederet Bank yang Dimiliki Korsel

Selain KB Kookmin Bank, terdapat investor dari Korea Selatan lainnya yang telah berekspansi di sektor perbankan nasional. TrenAsia.com merangkum beberapa bank yang memiliki pemegang saham dari negara tersebut.

1. Bank Agris dan Bank Mitra Niaga

Industrial Bank of Korea (IBK) asal Korea Selatan resmi mengakuisisi 95,79% saham PT Bank Agris Tbk (AGRS) dengan nilai Rp1,14 triliun pada awal 2019. Setelah itu, IBK mengakuisisi 1,17 miliar saham PT Bank PT Mitra Niaga Tbk (NAGA) senilai Rp478,53 miliar. Kemudian, kedua bank ini dilebur menjadi PT Bank IBK Indonesia Tbk.

2. Bank Dinar dan Bank Oke Indonesia

Perusahaan pembiayaan asal Korea Selatan APRO Financial Co. Ltd. (APRO) mengakuisisi 77,38% saham PT Bank Dinar Indonesia Tbk (DNAR) senilai Rp691 miliar pada awal November 2018. Kemudian Bank Dinar dilebur dengan PT Bank Oke Indonesia yang sebelumnya telah dimiliki mayoritas oleh APRO.

3. Bank Hana

Hana Financial Group resmi mengakuisisi Bank Hana pada 2007, kemudian dilakukan penggabungan usaha dengan PT Bank KEB Indonesia pada 2013. Dari merger tersebut, namanya berubah menjadi PT KEB Hana pada 2013, dan setahun selanjutnya menjadi PT Bank KEB Hana Indonesia.

Pemegang saham perseroan dimiliki oleh Bank KEB Hana Korea sebesar 69,01%, LINE Financial 20%, International Finance Corporation (IFC) 9,98%, dan 1,01% milik perseorangan.

4. Bank Woori Saudara

Semula bernama Bank Saudara, pada 2014 bank ini menjalin kerja sama dengan Woori Bank Korea, ditandai oleh masuknya anak perusahaan PT Bank Woori Indonesia sebagai pemegang saham.

Kemudian secara resmi, penggabungan usaha dengan Bank Saudara dilakukan oleh Bank Woori Indonesia pada akhir 2014. Bank Saudara pun berubah nama menjadi Bank Woori Saudara.

5. Bank Shinhan Indonesia

Shinhan Bank Co. Ltd yang berkantor pusat di Seoul, Korea Selatan, melakukan meger Bank Metro Express dengan Centratama Nasional Bank pada akhir 2016.

Kepemilikan sahamnya di Bank Shinhan Indonesia saat ini mencapai 99%, kemudian 0,53% dipegang oleh PT Metropanca Gemilang, dan 0,47% oleh PT STM Tunggal Jaya.

6. Bank Bukopin

Tentu saja terakhir, adalah PT Bank Bukopin Tbk (BBKP) yang disuntik modal oleh KB Kookmin Bank. Meski masih menimbulkan perselisihan antar pemegang saham, namun suntikan modal ini membuat cengkeraman investor asal Korea Selatan semakin semarak di perbankan Tanah Air. (SKO)