Tren Istilah Hukum: Apa Itu PKPU?
- Istilah hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mungkin sudah tidak asing ditelinga. Apalagi semenjak pandemi COVID-19 banyak perusahaan yang terkena PKPU, contohnya saja Garuda Indonesia yang baru-baru ini menjalankan proses PKPU.
Nasional
JAKARTA - Istilah hukum Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mungkin sudah tidak asing ditelinga. Apalagi semenjak pandemi COVID-19 banyak perusahaan yang mengalami PKPU, contohnya saja PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) yang baru-baru ini menjalankan proses PKPU.
PKPU adalah upaya debitur dalam mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menunda kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian dan tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditur.
Diperkirakan, jumlah pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat pandemi sebetulnya mencapai lebih dari 15 juta, bukan 2 juta seperti yang dilaporkan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI sekitar Mei 2020 lalu.
- Harga Emas Antam Turun di Awal Pekan, Termurah Dibanderol Rp534.000
- Apes, Twitter Rugi Rp4 Triliun Gara-Gara Batal Dibeli Elon Musk
- 4 Pesohor Tanah Air Ini Ternyata Anak Konglomerat
Untuk mengantisipasi dampak pandemi terhadap dunia usaha, pemerintah telah mengeluarkan peraturan untuk memberikan keringanan ekonomi bagi pelaku usaha yang membutuhkan bantuan.
Bank didesak untuk memberikan keringanan utang dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hadir untuk mengawasi bank yang menghadapi masalah likuiditas.
Dengan kembali beroperasinya bisnis, pihak-pihak yang wanprestasi selama PSBB kini harus menghadapi tuntutan pembayaran kewajiban dan utangnya. Bank harus memutuskan apakah akan merestrukturisasi utang atau kredit bermasalah, dan kreditur dapat mencari penyelesaian utang yang belum dibayar melalui forum yang tersedia.
Kreditur pada akhirnya dapat memilih untuk menempuh proses kepailitan atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau (PKPU) melalui Pengadilan Niaga terkait untuk penyelesaian utang yang belum dibayar.
Beda proses PKPU dengan kepailitan
Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Undang-Undang Nomor 37/2004), proses sidang PKPU lebih diutamakan dari pada kepailitan karena pemeriksaan dan putusannya lebih cepat daripada gugatan perdata.
Proses PKPU harus diselesaikan paling lama 20 hari kalender, tergantung pada pemohon. Sementara proses kepailitan harus diselesaikan dalam waktu 60 hari kalender sejak tanggal permohonan diajukan.
Mengingat persyaratan undang-undang berdasarkan UU 37 tahun 2004, untuk penyelesaian permohonan, lima Pengadilan Niaga di Indonesia, di Jakarta, Makassar, Medan, Surabaya dan Semarang, tidak menangguhkan sidang selama PSBB.
Mereka telah memperkenalkan langkah-langkah keamanan dan membatasi jumlah orang yang dapat menghadiri sidang.
Rapat kreditur yang diadakan setelah pailit atau proses PKPU dikabulkan juga tetap dilaksanakan, meskipun beberapa rapat telah dipindahkan secara online menggunakan platform rapat digital yang tersedia.
Setelah permohonan PKPU dikabulkan, terdapat jangka waktu PKPU sementara paling lama 45 hari sejak tanggal PKPU. Hal ini dapat diperpanjang menjadi PKPU permanen, yang dapat berlangsung paling lama 270 hari sejak tanggal PKPU sementara diberikan.
Selama masa PKPU sementara dan tetap, debitur dapat mengajukan dan merundingkan suatu rencana perdamaian dengan para krediturnya, yang keberhasilannya menentukan apakah debitur tersebut dinyatakan pailit atau lolos dari pailit.
Jika kreditur tidak menyetujui rencana perdamaian yang ditawarkan oleh debitur selama jangka waktu PKPU, pengadilan akan menyatakan debitur pailit.
3 jenis kreditur
Sebelum kreditur mana pun memulai proses kepailitan atau PKPU, penting untuk memahami jenis kreditur Anda dan di mana Anda berdiri dalam hal urutan pecking untuk pembayaran. Ada tiga jenis kreditur yang diakui dalam setiap proses kepailitan atau PKPU di Indonesia, yaitu:
1. Kreditur preferen, yang memiliki hak khusus yang diberikan oleh undang-undang yang memberikan preferensi kepada kreditur tersebut atas kreditur lain.
2. Kreditur yang dijamin, yang memegang jaminan tertentu atas aset/harta tertentu dari debitur sebagai jaminan pelunasan utang debitur. Kreditur dijamin juga dikenal sebagai kreditur terpisah dan mereka memiliki hak untuk mengeksekusi keamanan yang mereka pegang tunduk pada Undang-Undang 37 2004
3. Kreditur tanpa jaminan, yang merupakan kategori untuk semua kreditur lainnya.
Sebagaimana disebutkan di atas, kreditur preferen memiliki hak istimewa yang diberikan oleh undang-undang untuk pembayaran kembali dalam hal likuidasi aset debitur. Gaji, pajak, dan pesangon yang belum dibayar bagi pegawai merupakan hak istimewa dalam hal debitur dinyatakan pailit.
- Tok! BUMN Istaka Karya Resmi Pailit, Warisi Utang Rp1,08 Triliun
- Terpanjang di Asia Tenggara, Bendungan Semantok di Nganjuk Ditarget Rampung Tahun Ini
- Ketentuan Harga Minimum Sawit Bikin Harga CPO Merangkak Naik, Apkasindo: Saya Apresiasi
Sementara untuk kreditur yang dijamin, pelaksanaan haknya atas barang yang dijaminkan dapat ditangguhkan selama-lamanya 90 hari sejak putusan pailit.
Selama masa penangguhan tersebut, kurator yang ditunjuk oleh pengadilan dapat menggunakan atau menjual harta pailit yang dibebani jaminan dalam rangka kelangsungan usaha debitur, asalkan kurator telah memberikan perlindungan yang cukup untuk kepentingan kreditur terjamin.
Penundaan pelaksanaan barang yang dijaminkan secara hukum berakhir jika proses kepailitan berakhir lebih awal atau pada saat dimulainya jangka waktu kepailitan.
Kreditur terjamin yang haknya ditangguhkan dapat mengajukan permintaan kepada kurator untuk mencabut penangguhan atau mengubah ketentuan penangguhan tersebut. Jika kurator menolak permintaan itu, kreditur yang dijamin dapat mengajukan permintaan yang sama kepada hakim pengawas.
Sehari setelah hakim pengawas menerima permintaan dari kreditur yang dijamin, hakim pengawas memerintahkan kurator untuk memanggil kreditur yang dijamin untuk sidang dan hakim pengawas akan mengeluarkan keputusan selambat-lambatnya sepuluh hari setelah sidang.
Hakim pengawas dapat memutuskan untuk mencabut atau mempertahankan penangguhan tersebut dan/atau menegaskan apakah kreditur yang dijamin dapat melaksanakan hak atas harta pailit.
Jika debitur kemudian dinyatakan pailit dan kekayaannya akan dilikuidasi, kreditur yang dijamin memiliki waktu dua bulan untuk mengeksekusi haknya. Setelah jangka waktu itu, kurator dapat meminta hakim pengawas untuk mengizinkan barang-barang yang dititipkan pada jaminan dijual oleh kurator, dengan tidak mengurangi hak kreditur yang dijamin atas hasil penjualan.
Penerima kemudian akan menentukan sisa harta kekayaan debitur yang akan dicairkan sebagai pelunasan kepada kreditur agunan setelah pelunasan kepada kreditur preferen dan agunan.
Syarat pengajuan pailit atau PKPU
Permohonan pailit atau proses PKPU sebenarnya mirip, tergantung pada jenis badan usaha debitur. Keduanya sama-sama mensyaratkan bahwa debitur harus memiliki dua atau lebih kreditur, dan setidaknya satu utang yang jatuh tempo dan harus dibayar.
Perlu dicatat, UU 37 tahun 2004 mensyaratkan pembuktian sederhana atas utang yang digugat. Artinya jumlah yang terutang oleh debitur tidak harus melalui proses pembuktian yang rumit.
Mahkamah Agung Republik Indonesia baru-baru ini mengeluarkan Keputusan Mahkamah Agung Nomor 3/KMA/SK/I/2020 tentang Pedoman Penanganan Kepailitan dan Penundaan Proses Kewajiban Pembayaran Utang, tertanggal 14 Januari 2020 (Keputusan 3 2020). Perpres 3/2020 ini memberikan pedoman teknis dan praktis penerapan kepailitan dan proses PKPU.
Restrukturisasi Kewajiban
Tercatat, angka kepailitan dan proses PKPU terus meningkat di awal tahun 2022 ini dan bahkan sebelum wabah COVID-19. Seiring lebih banyak bisnis yang gagal bayar karena pandemi, kemungkinan proses PKPU dan kepailitan meningkat lagi setelah bisnis melanjutkan aktivitas.
Namun berada dalam proses kepailitan atau PKPU tidak serta merta membuat debitur harus dilikuidasi, karena ada jalan tengah bagi kreditur, yakni menyetujui restrukturisasi kewajiban debitur.
Debitur dalam proses kepailitan atau PKPU dapat menawarkan suatu rencana perdamaian kepada krediturnya, yang harus dilakukan pemungutan suara oleh kreditur sebelum likuidasi harta kekayaan dilakukan.
Dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi saat ini, di mana aset debitur yang dicairkan dapat menghasilkan tingkat pengembalian yang lebih rendah daripada yang diharapkan, kreditur mungkin lebih bersedia untuk menyetujui penyelesaian kewajiban debitur.
Hal ini dapat menjadi peluang bagi kreditur untuk lebih aktif mengikuti rapat kreditur yang diadakan sebagai akibat dari putusan pailit atau PKPU.