Tren Pembiayaan Berkelanjutan Bikin Permintaan Kredit Menurun
- Pembiayaan berkelanjutan semakin menjadi fokus utama dalam industri keuangan global, termasuk di Indonesia. Dian Ediana Rae menyebutkan bahwa regulasi terkait sustainable finance telah mengubah pola permintaan kredit.
Perbankan
JAKARTA - Regulasi pembiayaan berkelanjutan (sustainable finance) menjadi salah satu faktor yang berpengaruh besar terhadap tren permintaan kredit perbankan di Indonesia.
Perubahan kebijakan ini bertujuan untuk mendorong sektor keuangan yang lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial, namun juga membawa tantangan baru bagi industri perbankan dalam meningkatkan pertumbuhan kredit.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Dian Ediana Rae, menjelaskan dampak dan implikasi dari regulasi ini pada sektor perbankan.
- Membedah Potensi dan Tantangan Energi Nuklir di Indonesia
- Profil Teddy Oetomo, Eks Presiden Bukalapak Menuju Kursi Presiden Direktur MBMA
- Target Kinerja CTRA Diturunkan, Namun Saham Tetap Menarik
Pembiayaan Berkelanjutan: Tren Baru di Industri Perbankan
Pembiayaan berkelanjutan semakin menjadi fokus utama dalam industri keuangan global, termasuk di Indonesia. Dian Ediana Rae menyebutkan bahwa regulasi terkait sustainable finance telah mengubah pola permintaan kredit.
" upaya mendorong pertumbuhan kredit melalui komoditas seperti dulu semakin sulit untuk dilakukan seiring dengan regulasi yang semakin mengarah kepada sustainable finance," ujar Dian melalui jawaban tertulis, dikutip Selasa, 19 November 2024.
Pergeseran ini tidak hanya memengaruhi bank, tetapi juga dunia usaha yang kini harus menyesuaikan diri dengan standar keberlanjutan yang lebih ketat.
Proyek-proyek yang tidak sejalan dengan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) cenderung mengalami hambatan dalam mendapatkan pendanaan dari perbankan.
Untuk diketahui, pertumbuhan kredit perbankan Indonesia dalam satu dekade terakhir cenderung berada pada kisaran 7-12% pada masa pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan masa sebelum tahun 2013, di mana pertumbuhan kredit bahkan mampu menembus angka 20% pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Dampak pada Sektor Komoditas dan Energi
Menurut Dian, salah satu sektor yang paling terdampak adalah komoditas, yang sebelumnya menjadi andalan pertumbuhan kredit.
Dengan semakin banyaknya negara yang beralih ke energi terbarukan, kebutuhan akan pembiayaan proyek berbasis energi fosil menurun, sehingga mengurangi potensi pertumbuhan kredit di sektor ini.
Selain itu, regulasi ini juga menciptakan tantangan bagi pelaku usaha kecil yang ingin naik kelas ke tingkat usaha besar. Dian menyebutkan, "Lambatnya pertumbuhan wirausaha baru dan sulitnya kenaikan kelas pengusaha kecil turut memengaruhi rendahnya permintaan kredit."
Upaya Mendorong Permintaan Kredit di Era Baru
Meski regulasi pembiayaan berkelanjutan menghadirkan tantangan, Dian menekankan pentingnya transformasi ekonomi untuk memperkuat permintaan kredit. "Dibutuhkan perubahan ekonomi secara struktural untuk memperkuat ekonomi domestik, sehingga pada akhirnya permintaan terhadap kredit juga akan meningkat," jelasnya.
Salah satu langkah yang diharapkan dapat mendukung pertumbuhan kredit adalah ekspektasi penurunan suku bunga global hingga tahun depan.
Menurut Dian, hal ini dapat meningkatkan ketersediaan likuiditas di pasar dan memberikan dorongan bagi sektor usaha untuk meningkatkan investasi melalui pinjaman bank.
Pengawasan OJK dan Risiko Kredit
OJK terus memastikan bahwa pertumbuhan kredit perbankan tetap sehat dan sesuai prinsip kehati-hatian, terutama di tengah transformasi menuju pembiayaan berkelanjutan.
"Sebagai langkah mitigasi risiko, perbankan telah membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sesuai implementasi PSAK 71," kata Dian.
Risiko kredit sendiri, menurut Dian, saat ini masih terkendali dengan rasio Non-Performing Loan (NPL) sebesar 2,21% dan Loan at Risk (LaR) sebesar 10,11% per September 2024. "Permodalan perbankan juga masih memadai sebagai bantalan risiko, dengan CAR mencapai 26,85%," tambahnya.