<p>Awak media melakukan peliputan dengan latar belakang layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jum&#8217;at, 25 September 2020. Indek Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil bangkit dan ditutup menguat 103,03 poin atau 2,13 persen ke posisi 4.945,79 pada hari ini, setelah empat hari beruntun parkir di zona merah. Penguatan indeks hari ini ditopang kenaikan saham-saham berkapitalisasi jumbo alias big caps. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Trump Positif COVID-19 dan Deflasi Bikin IHSG Galau, Investor Asing Masih Ramai Keluar

  • Pada perdagangan sepekan, 30 September-2 Oktober 2020, IHSG melemah 0,39% ke level 5.926,73. Dalam sepekan itu, IHSG bergerak pada rentang 4.870,04-4.970,09.

Industri
Fajar Yusuf Rasdianto

Fajar Yusuf Rasdianto

Author

JAKARTA – Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) diproyeksi masih dipengaruhi sentimen Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang positif COVID-19.

Direktur Anugerah PT Mega Investasma Hans Kwee mengungkapkan, sentimen global dan dalam negeri masih menunjukkan ‘kegalauan’ di pasar bursa. Pergerakan IHSG pada 5-9 Oktober diperkirakan bakal berada pada kurva landai untuk pekan depan.

“IHSG dalam sepekan kami perkirakan cenderung sideways di range yang lebar dengan dengan support di level 4.881 sampai 4.754 dan resistance di level 4.991 sampai 5.075,” ungkap Hans dalam riset mingguan yang diterima TrenAsia.com, Minggu, 4 Oktober 2020.

Pada perdagangan sepekan, 30 September-2 Oktober 2020, IHSG melemah 0,39% ke level 5.926,73. Dalam sepekan itu, IHSG bergerak pada rentang 4.870,04-4.970,09.

Tren pelemahan ini juga diikuti oleh terseok-seoknya pergerakan saham indeks LQ45 yang turun 1,24% dalam sepekan. Bahkan, investor asing terus melakukan pelepasan portofolio dengan kembali mencatat net sell sepekan Rp1,4 triliun dan menambah tebal aksi jual bersih sejak awal tahun menjadi Rp43,65 triliun.

Tercatat berdasarkan data Bursa Efek Indonesia (BEI), sepekan terakhir investor asing sudah melakukan aksi jual sebesar Rp8,97 triliun. Sementara aksi beli bersih asing dalam rentang waktu yang sama hanya Rp7,5 triliun.

Sentimen Global

Hans lantas menjelaskan, isu global terkait pemilu AS dan Presiden Donald Trump yang terpapar COVID-19 sedikit-banyak telah menimbulkan kekhawatiran pelaku pasar. Kecemasan akan semakin parahnya kondisi Trump dinilai bakal mengubah situasi politik di AS dan turut memberi ketidakpastian di pasar keuangan.

Pasar cemas kalau-kalau pesaing Trump dari Partai Demokrat, yakni Joe Biden menang maka akan ada beberapa aturan yang tidak memihak kepada pelaku usaha disahkan. Misalnya, kenaikan pajak korporasi dan pengetatan aturan untuk perusahaan AS.

Selain itu, situasi pandemi COVID-19 di Eropa yang mulai memasuki gelombang kedua juga turut menyumbang sinyal-sinyal ketidakpastian. Kemungkinan adanya penutupan restoran, bar dan pembatasan sosial lanjutan berpotensi menekan laju perekonomian Eropa. Dampaknya, pasar keuangan juga bakal tertekan.

Second wave COVID-19 yang diantisipasi dengan langkah pembatasan sosial berpotensi membawa perlambatan ekonomi yang berpeluang menekan pasar keuangan khususnya pasar saham,” terang Hans.

Saat ini, diperkirakan investor akan lebih memperhatikan saham dan obligasi Asia dibandingkan dengan AS. Saat ini AS menghadapi risiko pemilu dan valuasi yang mahal.

Menurut dia, pasar Asia terlihat lebih menarik karena pemulihan ekonomi dan pendapatan yang kuat dan valuasi yang jauh lebih murah. Data ekonomi China yang baik ditambah kasus COVID-19 terkendali di sebagian negara kawasan Asia seperti di Korea Selatan, Taiwan dan Hong Kong.

Sentimen Lokal

Dari sentimen lokal, kegagalan pemerintah menjinakkan transmisi COVID-19 juga dinilai masih cukup berpengaruh pada kinerja bursa. Proyeksi Bank Dunia yang merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi negatif 1,6% dari sebelumnya 0% juga bakal memberikan dampak negatif bagi pasar.

Kabar perkembangan ekonomi, terutama soal deflasi yang terjadi dalam tiga bulan secara beruntun menunjukkan bahwa perekonomian sedang dalam guncangan kuat. Daya beli masyarakat belum pulih dan tentunya berpengaruh juga pada pasar keuangan.

“Deflasi merupakan tanda lemahnya daya beli masyarakat akibat pandemi,” tegasnya. (SKO)