Tunisia Tunjuk PM Baru di Tengah Krisis Ekonomi yang Memburuk
- Presiden Tunisia, Kais Saied, menunjuk Ahmed Hachani sebagai Perdana Menteri (PM) baru menggantikan Najla Bouden yang telah mengakhiri tugasnya, Rabu 2 Agustus 2023.
Dunia
JAKARTA - Presiden Tunisia, Kais Saied, menunjuk Ahmed Hachani sebagai Perdana Menteri (PM) baru menggantikan Najla Bouden yang telah mengakhiri tugasnya, Rabu 2 Agustus 2023.
Penunjukan Hachani, yang sebelumnya menjabat sebagai direktur sumber daya manusia di Bank Sentral Tunisia, terjadi di tengah krisis ekonomi dan sosial yang semakin memburuk di negara tersebut.
Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden telah berulang kali menyalahkan para pejabat dan pemerintah. Presiden menyatakan mereka harus bertindak untuk mengatasi masalah dan layanan publik yang buruk, termasuk sering terjadinya pemadaman air dan listrik.
- FIFA Lakukan Pengecekan 7 Lapangan Latihan Piala Dunia U-17 di Solo
- Tesla Umbar Diskon Besar, Ford Diperkirakan Tekor Rugi Rp67,5 Triliun
- Waspada! FBI Beri Peringatan Serangan Malware AI yang Dimanfaatkan Hacker
“Ada tantangan besar yang harus kita hadapi untuk menjaga tanah air kita, negara kita, dan perdamaian sipil,” ujar Saied kepada Hachani setelah ia mengucapkan sumpah konstitusional. “Kami akan bekerja untuk mencapai keinginan rakyat kami dan keadilan yang diinginkan serta untuk mencapai martabat nasional,” tambah Saied.
Sebelumnya, Saied telah menunjuk Bouden sebagai perdana menteri sekitar dua tahun yang lalu, setelah dia mencopot Perdana Menteri Hichem Mechichi. Bouden kemudian mengambil kendali hampir semua kekuasaan pada bulan Juli 2021 serta membubarkan parlemen dalam langkah yang dianggap pihak oposisi sebagai kudeta.
Namun, pemerintahan Bouden gagal mengatasi krisis ekonomi dan sosial, di tengah kekhawatiran bahwa Tunisia tidak akan mampu membayar utang luar negerinya karena krisis keuangan yang parah dan menyebabkan kelangkaan banyak komoditas seperti roti, tepung, gula, beras, serta kopi.
Sementara pemerintahan Bouden mendukung program reformasi ekonomi untuk mendapatkan pinjaman sebesar US$1,9 miliar atau setara Rp28,8 triliun dari Dana Moneter Internasional.
Saied menolak setiap reformasi yang mencakup pemotongan subsidi makanan dan energi, dengan alasan bahwa hal tersebut dapat menyebabkan ketegangan sosial yang akut.