Gedung PT Hutama Karya (Persero)
Nasional & Dunia

Ulah Anak Usaha, Hutama Karya (HK) Terancam Pailit

  • Sejumlah aksi korporasi PT HK Realtindo mengakibatkan induk usahanya, PT Hutama Karya (Persero) terancam pailit.

Nasional & Dunia

Drean Muhyil Ihsan

JAKARTA – Sejumlah aksi korporasi PT HK Realtindo mengakibatkan induk usahanya, PT Hutama Karya (Persero) terancam pailit di saat postur keuangan emiten konstruksi pelat merah itu tengah melemah.

Saat ini, Hutama Karya menjalankan proyek mandat pemerintah untuk membangun sejumlah jalan tol dengan biaya utang dan penyertaan modal negara (PMN). 

Diketahui, sedikitnya ada dua perkara baru Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tercatat pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kerja sama HK Realtindo digugat oleh perusahaan PT Lambang Indo Pratama dan Saleh Mursyid, penggugat perseorangan.

Menilik Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, HK Realtindo digugat Lambang Indo Pratama, pada 25 Juli 2023 dengan nomor perkara 221/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Jkt.Pst.

Gugatan selanjutnya dengan nomor perkara 222/Pdt.Sus-PKPU/2023/PN Niaga Jkt.Pst, pihak pemohon adalah perseorangan bernama Saleh Mursyid. Namun pihak termohon tidak hanya HK Realtindo, tetapi juga PT Bogorindo Cemerlang.

Hutama Karya dan HK Realtindo juga pernah digugat PT Kosala Agung Metropolitan atas tuduhan ingkar janji alias wanprestasi sebesar Rp1,5 triliun dengan Nomor Perkara 930/Pdt.G/2022/PN JKT.SEL.

Mengutip laman resmi PN Jakarta Selatan, kasus dengan PT Kosala Agung Metropolitan ini terkait dengan kerja sama pengembangan satuan rumah susun The H Tower/ Kesatuan Bangunan Gedung The H Tower di Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan.

Permasalahan Investasi

Tak hanya itu, aksi korporasi Hutama Karya melalui anak usahanya, HK Realtindo juga pernah disemprit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) karena proses akuisisi PT Cempaka Surya Kencana (CSK) tidak sesuai dengan ketentuan perusahaan yang tercantum dalam RKAP HKR 2019.

Dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II Tahun 2022 yang dirilis BPK, perilaku investasi Hutama Karya melalui HK Realtindo disebut tidak berhati-hati dan tidak mempertimbangkan risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya dalam mengelola investasi.

“Hal ini mengakibatkan tujuan Investasi Hutama Karya dan HK Realtindo atas akuisisi saham CSK berisiko tidak tercapai dan potensi kerugian perusahaan sebesar Rp1,2 triliun beserta bunga atas pinjaman,” dikutip dari laporan yang ditandatangani Ketua BPK Isma Yatun.

Awalnya, Hutama Karya melalui HK Realtindo berencana melakukan investasi kepada CSK sebesar Rp2,2 triliun pada 2019. Hutama Karya memberikan uang muka investasi sebesar Rp200 miliar pada Maret 2019 dari rencana total investasi sebesar Rp2,2 triliun yang direncanakan pada satu bulan sebelumnya. 

Selang beberapa bulan kemudian, HK Realtindo kembali meneken perjanjian pemberian utang jangka pendek sebesar Rp1 triliun dengan jaminan tanah seluas 47.258 meter persegi kepada CSK beserta bunga 10% yang jatuh tempo pada 17 Januari 2021.

Dalam laporannya, BPK melihat rencana itu berisiko bagi Hutama Karya maupun HK Realtindo. Untuk itu pada akhir 2021, HK Realtindo menegosiasikan kembali rencana tersebut kepada CSK dengan kesepakatan batal investasi. Adapun pinjaman Rp1 triliun, dialihkan atau dinovasikan kepada PT Azbindo Nusantara dan Azis Mochdar, pemegang saham CSK.

Melalui perjanjian itu, jaminan tanah dari seluas 47.258 meter persegi menyusut menjadi hanya 18.056 meter persegi yang diubah dalam kesepakatan menjadi kepemilikan saham sebesar 55% atas HK Realtindo pada CSK.

Namun demikian, dalam laporan keuangan Hutama Karya, tidak ada pencatatan soal utang yang dialihkan dari CSK kepada Azbindo. Sejurus itu, BPK merekomendasikan Komisaris Hutama Karya untuk memberikan peringatan terhadap jajaran direksi terkait keputusan tersebut.

Atas transaksi tersebut, BPK turut memerintahkan Direksi Hutama Karya agar memerintahkan Direksi HK Realtindo agar melaksanakan tindakan untuk mengantisipasi kegagalan investasi dan melakukan upaya-upaya yang optimal untuk menghindari risiko kerugian perusahaan yang lebih besar berupa pengembalian dana atau aset sebesar nilai investasi.