Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia.
Industri

Ungkap Strategi Investasi Pasca UU Cipta Kerja, Bahlil: Kuncinya Hilirisasi

  • Dia menjelaskan bahwa strategi hilirisasi telah ditunjukkan melalui pemberhentian eskpor nikel yang telah dimulai tahun lalu. Tahun depan pemerintah berencana menyetop ekspor bahan mentah bauksit dan selanjutnya akan memberhentikan tembaga mentah.
Industri
Daniel Deha

Daniel Deha

Author

JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan strategi kunci investasi pascapenerapan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Menurut dia, kunci investasi masa depan Indonesia adalah fokus pada hilirasi. Terutama upaya hilirisasi di sektor mineral. Hal itu sejalan dengan visi Presiden Jokowi yang terus mendorong agar industrialisasi dan hilirisasi guna menciptakan nilai tambah.

"Pemerintah selalu fokus untuk bagaimana mendorong terjadinya hilirisasi di sektor-sektor strategis dan sudah kita lakukan itu adalah bagaimana mendorong nikel untuk melakukan proses sampai dengan minimal 60-70 persen nilai tambahnya harus kerja di Indonesia," katanya dalam konferensi pers melalui YouTube BKPM dikutip Jumat, 3 Desember 2021.

Dia menjelaskan bahwa strategi hilirisasi telah ditunjukkan melalui pemberhentian eskpor nikel yang telah dimulai tahun lalu. Tahun depan pemerintah berencana menyetop ekspor bahan mentah bauksit dan selanjutnya akan memberhentikan tembaga mentah.

Untuk ekspor produk turunan bauksit, Jokowi pernah bilang bisa mencapai US$30 miliar setara Rp429 triliun per tahun (asumsi kurs Rp14.300 per dolar Amerika Serikat).

Sementara dengan melakukan hilirisasi produk nikel, pemerintah telah meraup US$20 miliar setara Rp280 triliun. Nilai tersebut terbang sangat tinggi dari sebelumnya hanya Rp15 triliun ketika masih ekspor nikel mentah.

Sejalan dengan langkah hilirisasi nikel, pemerintah sedang membangun pabrik pembuatan baterai listrik di Karawang, Jawa Barat. Pabrik tersebut menggunakan bahan baku nikel dan telah dilakukan groundbreaking pada 15 September 2021 lalu.

Pabrik tersebut dikerjakan oleh konsorsium PT Indonesia Battery Corporation (IBC) dan Konsorsium LG dari Korea Selatan dengan investasi US$1,1 miliar setara Rp15,67 triliun.

Konsorsium IBC terdiri dari empat perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau MIND ID, PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Pertamina (Persero), dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero).

IBC juga bermitra dengan Contemporary Amperex Technology Co. Ltd (CATL) dan Chengxin Lithium dari China. Baru-baru ini, Chengxin telah menyelesaikan investasi pembuata baterai listrik senilai US$350 juta setara Rp4,99 triliun.

"Karena kalau kita bicara ekonomi itu kita bicara tentang hilirisasi industri, penciptaan nilai tambah dan bagaimana menciptakan tenaga kerja yang berkualitas yang sekaligus untuk kemudian melahirkan produk-produk impor ataupun produk ekspor tapi mempunyai nilai tambah yang kuat," tandas Bahlil.

Bahlil membandingkan potensi ekonomi Indonesia dengan negara-negara Amerika Latin yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang sama, seperti Brasil, Argentina, Venezuela atau Bolivia. Namun dia menggarisbawahi bahwa negara-negara tersebut tidak melakukan hilirisasi sehingga tidak ada nilai tambah dalam negeri.

Dia menegaskan bahwa dengan adanya mengebut hilirisasi produk mineral tidak berarti bahwa Indonesia anti asing. Namun dia menekankan pentingnya kolaborasi dan kerja sama dalam menciptakan ekosistem investasi yang berkelanjutan di masa depan.

"Indonesia harus berada pada satu posisi yang terbuka bagi semua negara yang melakukan investasi selama memenuhi kaidah undang-undang (Cipta Kerja)," katanya.