<p>Museum Bank Indonesia (BI) meraih penghargaan Indonesia Museum Awards 2020 untuk kategori Museum Bersahabat. Acara yang digelar oleh Komunitas Jelajah (Jejak Langkah Sejarah) ini menilai BI aktif memberikan sosialisasi, terkait protokol kesehatan pencegahan COVID-19. / Jakartatourism.go.id</p>
Flobamoraku

Unik! Ternyata Museum Bank Indonesia Dibangun dari Material Langka

  • Ada cerita menarik di balik proses konstruksi Museum Bank Indonesia pada masa kolonial Belanda.

Flobamoraku
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Siapa yang tak kenal Museum Bank Indonesia? Salah satu museum paling tersohor yang berada di kawasan Kota Tua, Jakarta.

Seragam dengan bangunan lain di kawasan wisata tersebut, Museum Bank Indonesia memang merupakan cagar budaya peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Bangunan tersebut menyimpan sejarah yang tak ternilai harganya.

Hal yang menarik dari Museum Bank Indonesia yakni cerita di balik proses konstruksinya. Selain itu, material untuk membangun gedung ini ternyata sangat langka.

Melansir dari laman Bank Indonesia, museum ini menempati bekas De Javasche Bank (DJB) sejak 1828. Sebelumnya, bangunan tersebut merupakan Binnenhospital, sebuah rumah sakit pertama di Batavia dibangun tahun 1643. Rumah sakit ini bertahan lebih dari 160 tahun kemudian, ketika akhirnya ditutup pada 1808.

Setelah berkali-kali berpindah tangan, bekas bangunan Binnenhospital itu akhirnya disewa oleh DJB pada 1828. Dua tahun berselang (5 Mei 1930), gedung tersebut dibeli DJB seharga f45.000.

Sebagai bank swasta pertama di Hindia Belanda, kegiatan DJB kala itu memang belum sepenuhnya berjalan karena personalia dan kantor kerja belum disiapkan.

Sebelum berkantor di gedung bekas Binnenhospital, pemerintah Hindia Belanda sempat menawarkan sebuah rumah peristirahatan di Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada) milik Reinier de Klerk.

Akan tetapi, pihak DJB menolak. Alasannya, lokasinya terlalu jauh dari hiruk pikuk kota dagang Batavia.

Setelah 80 tahun menempati gedung kuno bekas Binnenhospital, DJB merasa perlu memiliki gedung baru untuk mengantisipasi perkembangan usaha yang kian pesat.

Gedung lama yang ditempati sejak 1828 dan berbentuk dasar “U” tersebut kemudian diganti dengan gedung baru yang pembangunannya dilakukan secara bertahap.

Tahap pertama (1910), pembagunan mencakup gedung di samping yang lama dan menghadap di sepanjang “Binnen Nieuwpoortstraat” (Jalan Pintu Besar Utara).

Tahap berikutnya (1922), keseluruhan bangunan lama yang ada di sisi utara, barat, dan selatan diganti dengan bentuk menyesuaikan bangunan yang dibuat tahun 1910.

Pada tahap terakhir (1933), terdapat beberapa tambahan baru seperti kluis (ruang khazanah), ruang effecten baru, tampilan depan yang lebih sederhana, dan unit baru yang megah ditempatkan di tengah-tengah. Perombakan ini melibatkan pemborong dari Hollandsch Beton Maatschappij.

Dalam proses pembangunannya, saat itu telah digunakan teknologi modern yang masih langka di Hindia Belanda. Teknologi tersebut antara lain penggunaan mesin pancang untuk memasang sekitar 300 tiang pancang beton sebagai pondasi.

Bangunan juga memakai bahan-bahan berkualitas tinggi yang pada masa itu belum pernah digunakan di Hindia Belanda. Beberapa bahan bangunan bahkan didatangkan dari Belanda, seperti batu granit, keramik lantai dan dinding, kaca patri, Delft, serta penutup atap.

Hulswit dan Cuypers sebagai arsitek kepercayaan DJB bahkan menghadirkan 314 kaca patri yang semuanya digarap oleh seniman kaca patri tersohor, Jan Schoten di studio Prinsenhof.

Kaca patri ini dibuat dengan cara dilukis dan diberi warna lalu dibakar dalam temperatur 1,100 derajat celcius sehingga menghasilkan warna yang sangat baik kualitasnya.