Untuk Capai Emisi Nol Persen, Jokowi Butuh Dukungan Rp1.400 Triliun dari Negara Kaya
- Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia memerlukan bantuan dana dan teknologi dari negara-negara kaya untuk membantu meningkatkan upaya perubahan iklim.
Nasional
JAKARTA -- Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa Indonesia memerlukan bantuan dana dan teknologi dari negara-negara kaya di dunia untuk membantu meningkatkan upaya perubahan iklim di tanah air.
Hal itu disampaikan Jokowi dalam pidatonya sebagai bagian dari KTT Perubahan Iklim Global PBB ke-26 (COP26) di Glasgow, Skotlandia, Senin, 1 November 2021.
Dalam pidato tersebut, dia menyoroti upaya Indonesia untuk menggunakan sumber daya alamnya yang melimpah sebagai strategi kunci dalam menurunkan emisi karbon.
"Kami, negara dengan kawasan hijau yang luas dan potensi penghijauan kembali, serta negara-negara dengan lautan luas yang berpotensi berkontribusi dalam penyerapan karbon, membutuhkan dukungan dan kontribusi dari negara-negara maju," katanya dikutip dari Channelnewsasia, Rabu, 3 November 2021.
- Digital Mediatama Maxima (DMMX) Jalin Kerja Sama dengan McDonald’s Indonesia, Luncurkan Solusi Cloud Advertising
- Kapal Selam Amerika Tabrak Gunung di Laut China Selatan
- Perusahaan Patungan MCAS dan SiCepat Pamer Motor Listrik Hemat Energi di Indonesia E-Vehicle Expo
Adapun, dalam Perjanjian Paris tahun 2015, negara-negara kaya telah menyetujui untuk memberikan US$100 miliar setara Rp1.400 triliun dalam pembiayaan tahunan kepada negra-negara berkembang.
Namun, sejak saat itu dana tersebut sebagian besar tidak dimobilisasi. Menurut laporan baru yang dirilis menjelang COP26, dana tersebut diperkirakan tidak akan diberikan hingga 2023.
Di bawah target iklim yang diperbarui - yang dikenal sebagai Nationally Determined Contributions, diajukan sebelum COP26 - Indonesia menguraikan tiga jalur menuju ekonomi rendah karbon, yang paling ambisius bergantung pada bantuan asing.
Jokowi mengatakan bahwa untuk memenuhi komitmen Perjanjian Paris dan kemajuan menuju emisi nol bersih pada tahun 2060 atau lebih cepat, Indonesia tidak bisa sendiri.
"Pemenuhan pendanaan iklim oleh negara-negara mitra maju merupakan game changer dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim bagi negara berkembang,” katanya.
"Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kita? Transfer teknologi seperti apa yang akan diberikan? Ini menciptakan tindakan dan implementasi secepat mungkin," imbuhnya.
Strategi Jokowi
Tantangan ke depan negara berpenduduk terbesar keempat di dunia ini sangat berat, karena berupaya melindungi dan memulihkan hutan dan lahan gambutnya yang luas serta mereformasi sektor energi yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil.
Namun kepada para pemimpin, Jokowi mengatakan bahwa deforestasi di Indonesia telah turun ke tingkat terendah dalam 20 tahun, kebakaran hutan turun 82% pada 2020 dan rehabilitasi kawasan besar hutan bakau atau mangrove sedang berlangsung.
Pemerintah Indonesia, kata dia, menginginkan sektor kehutanannya menjadi penyerap karbon bersih yang menyerap lebih banyak karbon dioksida dari atmosfer daripada yang dihasilkannya pada akhir dekade ini.
Strategi nasionalnya masih tidak melarang semua deforestasi, yang biasanya didorong oleh pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit dan kayu di masa lalu.
Jokowi juga menyoroti upaya Indonesia untuk mengembangkan ekosistem kendaraan listrik, membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di Asia Tenggara, serta taman industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.
Permintaan Inggris
Di tengah komitmen Jokowi untuk melakukan transisi energi terbarukan, Inggris menilai bahwa Indonesia belum bisa mengakhiri pembangunan infrastruktur batu bara baru.
Karena itu, Inggris meminta Indonesia segera menghentikan pembangunan batu baranya.
Dalam pertemuan dengan Jokowi di Glasgow, para investor Inggris menyatakan ketertarikan mereka untuk melakukan investasi di sektor energi hijau di Indonesia.
Mereka menyebut akan menginvestasikan dana hingga US$9,29 miliar setara Rp130,06 triliun sembari mempertimbangkan langkah Indonesia di sektor energi terbarukan.
Adapun, isu pembangunan energi berbasis fosil atau batu bara menjadi isu sentral selama pertemuan para pemimpin di Glasgow.
Pada KTT G20 di Roma, para pemimpin telah mencapai kesepakatan untuk menghentikan pembiayaan batu bara luar negeri secara bertahap pada tahun ini.
Sementara, Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara, dimana Indonesia adalah produsen sumber daya terbesar kedua dan pengekspor batu bara seaborne terbesar.
Sangat Diperlukan
Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Alue Dohong mengatakan bahwa Indonesia mungkin dapat mencapai tujuan nol bersihnya lebih awal dari tahun 2060 jika negara-negara maju memberikan bantuan yang diperlukan untuk transisi yang bersih.
"Jika bantuan keuangan atau bantuan teknologi tersedia dari negara maju, maka kita bisa membuatnya lebih awal dari 2060. Itu syaratnya. Saya pikir itu mungkin," katanya.
"Tanpa US$100 miliar per tahun seperti itu, mungkin sangat sulit bagi negara berkembang untuk mengatasi perubahan iklim," imbuhnya.
- Apa Masalah Utama Garuda Indonesia hingga Terancam Bangkrut? Bekas Komisaris, Peter F. Gontha Buka Suara
- Garuda Indonesia Terancam Bangkrut, Chairul Tanjung Berpotensi Merugi Rp19,7 Triliun
- Ini 3 Alasan Erick Thohir Pecat 4 Direktur dan 1 Komisaris MIND ID
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pasar karbon dan instrumen harga akan menyediakan platform untuk transformasi rendah emisi baik di dalam negeri maupun di pasar global.
Namun dia mengingatkan agar Indonesia tidak dimanfaatkan dalam proyek tersebut.
"Ini adalah permainan global, tetapi dalam permainan ini, Indonesia harus melindungi kepentingan kita sendiri," katanya.
Dia menyebut, Indonesia akan mulai memungut pajak karbon dari operator pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) beremisi tinggi mulai April tahun depan.
Besarannya adalah Rp30 per kilogram ekuivalen karbondioksida (kCO2e), atau Rp30.000 per ton CO2e.
Namun, sampai saat ini pemerintah belum menentukan besaran penerimaan negara yang bisa dikejar dari pajak yang baru pertama kali diterapkan di Indonesia tersebut.*