<p>Maskapai penerbangan pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. dan anak perusahaannya, Citilink, mulai Minggu (1/3), mulai memberikan diskon 50% tiket pesawat ke 10 destinasi wisata. / Dok. Anne Avantie</p>
Korporasi

Upaya Penyelamatan Garuda Indonesia Hadapi Jalan Buntu?

  • PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menghadapi kondisi yang pelik. Bisnis penerbangan yang babak belur dihantam pandemi COVID-19 membuat keuangan emiten pelat merah ini megap-megap.

Korporasi
Muhamad Arfan Septiawan

Muhamad Arfan Septiawan

Author

JAKARTA – PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tengah menghadapi kondisi yang pelik. Bisnis penerbangan yang babak belur dihantam pandemi COVID-19 membuat keuangan emiten pelat merah ini megap-megap.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus turun tangan menyelamatkan national flight carrier Indonesia ini.

Seperti diketahui, terdapat empat opsi penyelamatan Garuda Indonesia, yakni suntikan ekuitas dari pemerintah, perlindungan hukum kebangkrutan, pendirian maskapai baru, dan likuidasi.

Pengamat BUMN Universitas Indonesia (UI) mengungkapkan sulit bagi Garuda Indonesia untuk lolos dari krisis ini secara mulu. Opsi suntikan ekuitas sebenarnya bisa ditempuh Garuda Indonesia, dengan catatan realisasi yang mesti cepat.

Berkaca dari pencairan Obligasi Wajib Konversi (OWK) yang digelontorkan pemerintah sebesar Rp8,5 triliun baru terealisasi Rp1 triliun. Lambatnya pencairan ini diakui Kementerian BUMN lantaran Garuda Indonesia tidak memenuhi key performance indicator (KPI) selama 2020.

Menurut Toto, lambatnya realisasi suntikan ekuitas itu membuat opsi ini akan berat digelontorkan oleh pemerintah. Selain itu, Tidak ada jaminan bisnis Garuda Indonesia bakal pulih signifikan usai disuntik ekuitas

“Tidak ada yang menjamin bisnisnya langsung pulih, kalau sudah disuntik ekuitas namun ternyata belum perform, ini akan balik menyulitkan Garuda Indonesia,” kata Toto kepada Trenasia.com, Jumat, 4 Juni 2021.

Seolah sepakat dengan Toto, sebelumnya, anggota Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Evita Nursanty menyatakan opsi ini tidak akan membawa keuntungan, baik kepada penerimaan negara mau pun keuangan Garuda Indonesia.

Evita tidak ingin Garuda Indonesia bernasib sama seperti Merpati Airlines. Pasalnya, Merpati sudah seperti zombie bagi BUMN, operasional tidak berjalan dan hanya mewariskan setumpuk hutang saja. Tumpukan utang itu yang membuat Merpati Airlines sulit dibubarkan karena harus menyelesaikan kewajiban ke Kreditur.

Keuangan Garuda semakin berat usai Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) memindahkan biaya sewa pesawat yang tadinya berada pos operational expenditure (opex) menjadi kewajiban. Hal itu membuat utang Garuda Indonesia membengkak dari Rp20 triliun menjadi Rp70 triliun.

Kemudian, opsi perlindungan hukum kebangkrutan melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dinilai Toto bisa memberi nafas tambahan bagi Garuda Indonesia. Namun, opsi itu tidak memperbaiki masalah secara fundamental yang berasal dari lesunya bisnis selama pandemi COVID-19.

“Ini bagus-bagus saja untuk Garuda bisa memperbaiki keuangannya dan tidak diganggu kreditur. Tapi apakah bisa Garuda mendapat PKPU dalam waktu yang lama?,” ungkap Toto

Lalu, Toto menyebut opsi pendirian maskapai baru justru lebih sulit dilakukan ketimbang menyelamatkan Garuda Indonesia. Opsi ini dinilainya bakal memberatkan Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) karena segala proses pendirian usaha baru perlu memakan dana yang tidak sedikit.

“Membangun usaha penerbangan baru sulit dilakukan, memerlukan banyak kualifikasi dan persyaratan, dana yang besar. Sehingga tidak mungkin dilakukan untuk opsi ini,” jelas Toto

Dalam perspektif DPR, likuidasi harus menjadi opsi terakhir yang ditempuh untuk menyelamatkan Garuda Indonesia. Para Wakil Rakyat berkata tidak ingin Indonesia kehilangan martabat di mata dunia karena tidak memiliki national flight carrier lagi.

Sementara Toto mengatakan belum tentu ada pihak swasta yang tertarik dengan melikuidasi Garuda Indonesia. Pasalnya, status Garuda Indonesia sebagai public service obligation (PSO) selama ini dinilai tidak terlalu menguntungkan secara bisnis.

“Garuda ini kan PSO dan harus hadir di rute-rute terpencil yang secara bisnis kurang menguntungkan, apakah swasta mau masuk ke sana? Tentu kalau swasta kan orientasinya 100% ke bisnis,” ujar Toto.

Alternatif dari masalah Garuda yang diungkapkan Toto adalah dengan skema private placement bagi pemegang saham lainnya. Seperti diketahui, selain pemerintah, saham Garuda Indonesia juga dipegang oleh CT Corpora milik konglomerat Chairul Tanjung.

Chairul Tanjung melalui PT Trans Airways tercatat memiliki 7,31 juta lembar saham atau setara dengan 28,25% dari seluruh modal ditempatkan dan disetor perseroan. Tambahan modal dari investor besar ini dinilai Toto berimplikasi positif terhadap kinerja keuangan Garuda Indonesia yang tengah terseok-seok.

“Investor lain minta untuk setor dana, ini menjadi alternatif bagi Garuda Indonesia untuk bisa bernafas lebih panjang,” jelas Toto. (RCS)