<p>Kendaraan terjebak kemacetan di ruas Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan, Selasa 2 Juni 2020. Kemacetan jalanan ibukota kembali tampak jelang pemberlakuan Kenormalan Baru atau New Normal. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Urbanisasi Harus Diimbangi Akselarasi Energi Bersih

  • JAKARTA – Tingginya angka urbanisasi mendongkrak konsumsi energi yang mengakitbatkan tingkat pencemaran udara makin mengkhawatirkan. Laju motorisasi di Indonesia pada 1950 hingga 2017 mengalami pertumbuhan lebih dari 10% setiap tahunnya. Sepeda motor menjadi kontributor terbanyak dengan 80% dari total kendaraan bermotor, dan mengalami pertumbuhan paling tajam pasca 2000. “Yang terjadi ketika ada kebutuhan konsumsi energi […]

Industri

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Tingginya angka urbanisasi mendongkrak konsumsi energi yang mengakitbatkan tingkat pencemaran udara makin mengkhawatirkan.

Laju motorisasi di Indonesia pada 1950 hingga 2017 mengalami pertumbuhan lebih dari 10% setiap tahunnya. Sepeda motor menjadi kontributor terbanyak dengan 80% dari total kendaraan bermotor, dan mengalami pertumbuhan paling tajam pasca 2000.

“Yang terjadi ketika ada kebutuhan konsumsi energi berbasis fosil maka dampaknya muncul terhadap kondisi lingkungan yaitu polusi udara,” kata peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) Universitas Gadjah Mada, Joewono Soemardjito, dalam seminar secara daring, Selasa, 29 September 2020.

Dengan melonjaknya konsumsi energi, emisi pun meningkat. Data 2016 menunjukkan bahwa emisi CO2 sektor transportasi nasional mencapai 137,94 juta ton. Pada 2050, global CO2 dari kendaraan bermotor diprediksi akan meningkat tiga kali lipat dibanding angka pada 2010.

“Kebutuhan akan bahan bakar yang terus meningkat terutama di sektor transportasi, kalau tidak bisa dikendalikan akan semakin memburuk,” terangnya.

Dampak Urbanisasi

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia, Agus Taufik Mulyono menyebut urbanisasi sebagai salah satu megatren dunia yang berpengaruh. Ini menjadi salah satu permasalahan menahun yang terjadi di perkotaan akibat motorisasi.

Padahal, pemerintah telah menetapkan target pengurangan gas rumah kaca sektor transportasi, melalui tiga opsi kebijakan. Opsi tersebut meliputi pengurangan jumlah atau jarak perjalanan, pengalihan ke moda transportasi ramah lingkungan, serta inovasi teknologi kendaraan yang efisien bahan bakar.

Namun, hingga kini belum ada hasil yang signifikan. Sebagaimana diketahui, Indonesia terikat komitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dalam Paris Agreement. Adapun target energi terbarukan nasional sebesar 23% pada 2025 dan 29% pada 2030.

Rinciannya, emisi karbon di sektor kehutanan ditargetkan turun 17,2%, sektor energi 11%, sektor limbah 0,32%, sektor pertanian 0,13%, serta sektor industri dan transportasi 0,11%. 

 potensi EBT di Indonesia terbukti sangat besar, setidaknya sudah terpetakan berapa kapasitas yang mampu dihasilkan. Seperti misalnya surya (207,8 Giga Watt atau GW), air (75 GW), bayu/angin (60,6 GW), bioenergi (32,6 GW), panas bumi (23,9 GW), dan samudera (17,9 GW).

Menanggapi hal tersebut, Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma menegaskan cepat atau lambat manusia harus beralih ke EBT. Maka penting untuk menjadikan EBT sebagai kultur global baru sebagai sumber energi.

“Tren dunia sekarang mengalihkan penggunaan energi fosil ke energi terbarukan. Ini akan mengubah pola sikap, pola hidup, pola manajemen,” kata Surya.

Ia mengungkapkan, penggunaan EBT di dunia akan mengalami lonjakan hingga 50% pada tahun 2025 dan meningkat ke 80% di tahun 2050. “Ini bukan hanya sebagai tantangan, tapi juga peluang karena Indonesia memiliki (sumber) EBT yang komplit dibandingkan negara lain,” jelas Surya.