Ilustrasi: Tambang nikel PT Aneka Tambang Tbk (Antam) / Pertambangan nikel milik PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) / Dok. Antam
Nasional

Usul Bahlil Kumpulkan Negara Penghasil Nikel, Indonesia Sanggup?

  • Sebelumnya Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengusulkan, untuk mendirikan organisasi seperti OPEC (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) bagi negara-negara penghasil nikel.

Nasional

Debrinata Rizky

JAKARTA - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengusulkan untuk mendirikan organisasi seperti OPEC (The Organization of the Petroleum Exporting Countries) bagi negara-negara penghasil nikel.

Menurut Bahlil, adanya organisasi seperti OPEC untuk negara penghasil nikel dapat mengokoordinasikan dan menyatukan kebijakan komoditas nikel. 

“Selama ini yang kami lihat, negara-negara industri produsen kendaraan listrik melakukan proteksi. Akibatnya, negara penghasil bahan baku baterai tidak memperoleh pemanfaatan nilai tambah yang optimal dari industri kendaraan listrik. Melalui kolaborasi tersebut, kita harap semua negara penghasil nikel bisa mendapat keuntungan melalui penciptaan nilai tambah yang merata,” ungkap Bahlil dilansir Rabu,16 November 2022.

Gagasan Bahlil ini nyatanya masih sekedar gagasan, karena ia mengaku belum menghubungi produsen nikel besar. Padahal menurut data Nickel Institutei, Indonesia menyimpan 22% cadangan nikel dunia dan dalam dua tahun terakhir getol membangun smelter.

Hilirisasi Nikel

Untuk memenuhi permintaan sektor energi terbarukan, termasuk dari industri kendaraan listrik, pemerintah sudah melarang eksppr bijih nikel sejak 2020. Hal ini membuat emiten produsen nikel berlomba ikut melakukan hilirisasi.

Salah satunya yaitu PT Vale Indonesia Tbk (INCO). Perseroan akan memulai konstruksi smelter nikel berteknologi rotary kiln-electric furnace (RKEF) di Bahodopi dan smelter high pressure acid leaching (HPAL) di Pomalaa dan Soroako pada 2023.

Produksi pabrik HPAL di Pomalaa dan Soroako masing-masing akan berkapasitas 120.000 ton dan 60.000 ton untuk memenuhi kebutuhan baterai kendaran listrik masa mendatang.

Emiten kedua ada PT Aneka Tambang (Persero) Tbk yang juga turut menggenjot pembangunan pabrik feronikel di Halmahera Timur (P3FH) dan rantai EV battery untuk menghilirkan produksi limonite dan saprolite.

Pabrik feronikel Halmahera Timur akan menambah kapasitas produksi 13.500 ton setelah beroperasi akhir 2022, sekitar 50% dari kapasitas 27.000 ton dari tiga smelter yang berjalan saat ini.

Seperti yang diketahui Antam telah berperan aktif pada proses hulu (upstream) dan tengah (midstream) yang meliputi penambangan bijih nikel dan pengolahannya menjadi bahan baku lanjutan dalam rantai produksi EV battery.

J.P. Morgan menilai langkah semacam itu akan rumit, meski Indonesia dapat menghasilkan 45% hingga 50% nikel olahan dunia. Alasannya karena smelter di Indonesia bekerja sama dengan investor asing, yakni sebagian besar dengan Tsingshan dan Huayou pada masa mendatang.

Alasan kedua karena, minimnya penguasaan negara terhadap bijih nikel. Menurut analis J.P. Morgan yang dipimpin Benny Kurniawan dalam riset, ANTM hanya memiliki 1% cadangan bijih dalam negeri dan produksi bijih 9% dari total bijih yang diproduksi.

Sehingga jika disuruh memilih jaringan proyek nikel kelas 1 yang kuat. J.P. Morgan menempatkan INCO dan MDKA sebagai pilihan teratas

Tantangan

Menurut J.P. Morgan hal yang menjadi ganjalan terletak pada struktur organisasi dan biaya serta operasi. Saat ini menurutnya industri olahan nikel kurang terfragmentasi, sehingga kontrol negara atas smelter terbatas karena sebagian besar dimiliki oleh investor asing, khususnya pemain China, seperti Tsingshan.

Kedua, hal yang tak kalah susah ialah saat memulai kembali produksi pabrik peleburan membutuhkan waktu berminggu-minggu dan mahal untuk dilaksanakan. Meski positif, proyek ini tetap memerlukan pertimbangan yang matang.