Suasana aktivitas di salah satu pabrik PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), perusahaan tekstil yang diputus pailit karena kesulitan keuangan.
Bursa Saham

Utang Bank oleh Sritex (SRIL) Capai Rp13,29 Triliun, Ini Daftar Krediturnya

  • Berdasarkan laporan keuangan tahun buku 2023, perusahaan tekstil yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini memiliki total liabilitas sebesar US$1,60 miliar, setara dengan Rp24,85 triliun dengan kurs Rp15.500 per dolar Amerika Serikat

Bursa Saham

Alvin Pasza Bagaskara

JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (SRIL) atau biasa Sritex yang merupakan salah satu produsen tekstil terbesar di Indonesia dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri (PN) Niaga Semarang pada Senin, 21 Oktober 2024.

Sebagai informasi, pailit adalah istilah hukum yang merujuk pada kondisi di mana debitur dinyatakan tidak mampu membayar utang oleh pengadilan, berdasarkan permohonan dari kreditur atau debitur sendiri. 

Pailit sendiri diatur dalam Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU). Hal ini berbeda dengan bangkrut yang tidak memiliki ketentuan hukum yang spesifik dan tidak terkait dengan proses pengadilan.

Berdasarkan laporan keuangan tahun buku 2023, perusahaan tekstil yang berbasis di Sukoharjo, Jawa Tengah ini memiliki total liabilitas sebesar US$1,60 miliar, setara dengan Rp24,85 triliun dengan kurs Rp15.500 per dolar Amerika Serikat. 

Dari jumlah tersebut, utang bank jangka pendek tercatat sebesar US$11 juta (Rp170,83 miliar), sedangkan utang jangka panjang mencapai US$858 ratus juta (Rp13,29 triliun). Pertanyaannya sekarang, berapa banyak bank yang menjadi kreditur dari emiten dengan kode SRIL ini?

Nah, merujuk laporan keuangan tersebut, kreditur utang bank jangka pendek SRIL hanya PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) saja. Sementara itu, untuk utang jangka panjang ada 17 perbankan yang menjadi kreditur emiten tekstil itu. 

Adapun tiga bank yang menjadi kreditur terbesar SRIL pada pos utang jangka panjang antara lain BBCA dengan jumlah utang sebesar US$72,53 juta. Selanjutnya, PT Bank QNB Indonesia Tbk memberikan utang sebesar US$37,99 juta dan Citibank N.A., Indonesia, memberikan utang sebesar US$36,72 juta.

Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) menjadi satu-satunya bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang turut memberikan kredit kepada Sritex, dengan jumlah utang mencapai US$23,80 juta.

Alasan Pailit

Sebelumnya, pernyataan pailit terhadap Sritex didasarkan pada putusan PN Semarang dalam perkara nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg. Pembacaan putusan tersebut berlangsung pada Senin, 21 Oktober 2024, di PN Niaga Semarang. 

Nah, PT Indo Bharat Rayon yang merupakan pemohon, mengajukan pembatalan perdamaian karena Sritex dan anak perusahaannya, yaitu PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, dianggap lalai dalam memenuhi kewajiban pembayaran.

"Menyatakan PT Sri Rejeki Isman Tbk., PT Sinar Pantja Djaja, PT Biratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya pailit dengan segala akibat hukumnya," tulis pernyataan dalam putusan terbaru dikutip pada Kamis, 24 Oktober 2024. 

Tidak hanya itu, PT Indo Bharat Rayon juga meminta PN Niaga membatalkan putusan terkait Pengesahan Rencana Perdamaian (Homologasi) pada putusan nomor 12/Pdt.Sus PKPU/2021.PN.Niaga.Smg, yang dikeluarkan pada 25 Januari 2022.

Dampak dari Pailit

Sementara itu, Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Sritex Group menyatakan kekhawatirannya bahwa situasi ini dapat berdampak pada 15.000 karyawan yang berisiko terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). 

Walaupun produksi masih berlangsung dan ada upaya restrukturisasi, keputusan pengadilan yang menyatakan kebangkrutan berpotensi menyebabkan pemutusan hubungan kerja dalam jumlah besar.

Penurunan performa Sritex ini tergambar dari penjualan bersih pada 2023 yang hanya mencapai US$325,08 juta (Rp5,01 triliun), turun 38,02% dari tahun sebelumnya yang mencapai US$524,56 juta.

Bila dirinci, penjualan ekspor tercatat sebesar US$158,66 juta, sementara penjualan lokal mencapai US$166,41 juta. Kedua segmen ini mengalami penurunan sepanjang 2023. Hal tersebut mendorong rugi bersih membengkak signifikan dari periode tahun sebelumnya.