Utang Menumpuk Rp123 Kuadriliun, China Gonjang Ganjing
- Pemerintah China telah menumpuk utang sekitar US$8 triliun atau setara Rp123,7 kuadriliun untuk pembiayaan pemerintah daerah (LGFV).
Nasional
BEIJING - Krisis utang pemerintah daerah semakin memburuk di China. Hal ini disebabkan karena pasar properti secara bersamaan ambruk dan Beijing bersaing dengan gema jika kebijakan nol-COVID-nya.
Menurut laporan Insider Senin, 17 Oktober 2022, sekitar Pemerintah China telah menumpuk utang sekitar US$8 triliun atau setara Rp123,7 kuadriliun untuk pembiayaan pemerintah daerah (LGFV). Anggaran ini telah digunakan China untuk membayar proyek infrastruktur dan memacu pertumbuhan sejak Krisis Keuangan Hebat beberapa waktu terakhir.
Obligasi yang diterbitkan oleh LGFV diduga berisiko gagal bayar. Ini kemudian menimbulkan ancaman lain bagi Presiden Xi Jinping yang tengah mengejar masa jabatan periode ketiga yang belum pernah terjadi sebelumnya di Kongres Nasional ke-20 Partai Komunis China.
- Menperin: Inpres Kendaraan Listrik Dinas Bakal Genjot Populasi EV
- Investor Asing Diam-diam Tadah Saham GOTO di Harga Bawah
- Kemenkeu Buru Obligor yang Kabur hingga Pindah Kewarganegaraan
- Kementerian Keuangan Beberkan Rencana Pergantian Mobil Dinas ke Kendaraan Listrik
Para ahli berpikir Beijing harus turun tangan dengan dana talangan ketika para pejabat berusaha mencegah ekonomi yang sudah melambat memburuk lebih lanjut.
"Untuk menghindari dislokasi lokal besar atau kerusakan pada pemulihan ekonomi secara keseluruhan, pemerintah, dalam pandangan kami, masih sangat mungkin untuk campur tangan untuk mendukung perusahaan milik negara yang penting secara strategis dan mencegah default yang akan memicu peristiwa tekanan keuangan lokal," kata ekonom utama di S&P Global Market Intelligence, Yating Xu seperti dikutip TrenAsia.com.
Sebagai informasi, LGFV telah menjadi instrumen keuangan yang andal di China, dan telah memungkinkan pembangunan segala sesuatu mulai dari gedung apartemen hingga taman hiburan.
Kemudian pada 2020, Pemerintah China mulai memperlambat sektor properti lantaran tingkat utang yang semakin membengkak sehingga menimbulkan kekhawatiran oleh para pejabat.
Lantaran hal tersebut, pasar properti dilaporkan terjun bebas. Pengembang juga memangkas pembelian tanah yang sering diandalkan oleh pemerintah daerah untuk menyeimbangkan pembukuan mereka. Ketika pendapatan kota mulai mengering, kemampuan untuk membayar utang LGFV melemah.
Menurut pengamatan peneliti di Institut Peterson untuk Ekonomi Internasional,Tianlei Huang, sejauh ini, default LGFV jarang terjadi dan secara geografis terkonsentrasi di provinsi pedalaman tertentu.
"Tetapi dengan nol-COVID dan krisis properti yang terus berlanjut, ini dapat menyebar ke lebih banyak daerah," katanya.
Ia menambahkan, utuk saat ini, Beijing tidak tertarik untuk menawarkan bantuan kepada pemerintah daerah untuk menyelesaikan perangkap utang. Meskipun LGFV biasanya menikmati jaminan implisit atas kewajiban utang mereka.
Demi menghindari krisis keuangan skala penuh yang meluas ke ekonomi China yang lebih luas, ekonom dari S&P, Xu yakin intervensi pemerintah mungkin dilakukan.
Tetapi China memiliki catatan menoleransi default dan kebangkrutan di bawah Presiden Xi sebagai bagian dari tujuan jangka panjang untuk meningkatkan efisiensi perusahaan milik negara. Pasalnya, baru-baru ini pada akhir 2020, China melihat serangkaian default setelah stimulus pasca-pandemi.
"Gagal bayar obligasi yang didukung pemerintah lokal akan menyebabkan kerusakan lebih lanjut dari lingkungan pembiayaan dan menaikkan biaya pembiayaan di daerah-daerah berisiko," kata Xu.