Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) milik anak subholding Pertamina NRE, PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Korporasi

Utang Pertamina Geothermal (PGEO) Disoal saat Kinerja Operasional Belum Optimal

  • Sejumlah kalangan menilai manajemen PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) perlu memperbaiki kinerja operasional di saat perseroan terus memperbanyak utang untuk menutup utang jangka pendek (refinancing).
Korporasi
Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

 JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai manajemen PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO) perlu memperbaiki kinerja operasional di saat perseroan terus memperbanyak utang untuk menutup utang jangka pendek (refinancing).

Perbaikan kinerja itu harus dilakukan perseroan saat utangnya kian menumpuk. Saat ini tercatat total utang PGEO mencapai US$943,28 juta terdiri dari pinjaman bank jangka panjang setelah dikurangi bagian yang akan jatuh tempo dalam satu tahun senilai US$327,7 juta. Sedangkan utang jangka pendek PGEO tercatat masih sekitar US$615,58 juta.

Pengamat Energi Ahmad Kurtubi mengakui masih ada sejumlah permasalahan yang terjadi pada bisnis Pembangkit Listrik Tenaga Panasbumi (PLTP). Menurutnya perseroan perlu memperbaiki kinerja beberapa PLTP yang belum menghasilkan secara optimal.

Kurtubi mengamini bahwa salah satu aset milik PGEO yaitu PLTP Karaha belum juga mampu membukukan keuntungan karena tingginya beban yang harus ditanggung akibat teknologi yang tertinggal dibandingkan dengan pengembangan geothermal di negara lain.

“Permasalahan terutama dari sisi hulu yang memang masih belum efisien. Jadi harus dikembangkan dulu teknologinya,” ujarnya kepada wartawan, dikutip Senin, 8 Mei 2023.

Dari sisi industri, menurutnya pengembangan PLTP di dalam negeri sangat lambat, padahal secara teknis umum, proses eksplorasi dan eksploitasinya sangat mirip dengan migas, yakni pengeboran. “Padahal Pertamina ahli dalam hal ini, tapi kenapa sulit untuk mengembangkan bisnis geothermal-nya,” kata Kurtubi.

Menurut Kurtubi, Indonesia dapat mencontoh Islandia yang berhasil mengembangkan bisnis geothermal dengan optimal sehingga dapat menguntungkan. “Saya melihat seharusnya ada investasi untuk meningkatkan kualitas SDM-nya sehingga dapat mengembangkan teknologi dan berdampak pada efisiensi.”

Dalam laporan keuangan PGEO dipaparkan bahwa operasional PLTP Karaha terus membukukan kerugian yang mendalam dengan mencatatkan rugi tahun berjalan sepanjang medio 2020 – 2022 masing-masing sebesar US$13,73 juta, US$12,52 juta, dan US$9,74 juta.

Hal ini diakibatkan oleh beban pokok pendapatan PLTP Karaha yang tinggi dengan nilai mencapai US$15,06 juta pada 2020, US$16,24 juta pada 2021 dan US$15,44 juta pada 2022. 

Sedangkan, pendapatan usaha hasil penjualan listrik dari PLTP Karaha pada periode yang sama hanya sekitar US$7,32 juta, US$6,94 juta, dan US$7,05 juta. 

Dengan begitu, rasio biaya terhadap pendapatan (BOPO) PLTP Karaha senilai 205,74%, 234%, dan 219,01%. Padahal BOPO yang baik, maksimal 85-85%.

Melansir laman resmi perseroan, PLTP Karaha Unit I berkapasitas 30 MW yang telah beroperasi secara komersil pada 6 April 2018. Adapun total investasi pembangkit listrik milik anak usaha Pertamina tersebut mendekati US$200 juta.

Jauh sebelum itu, penghentian kegiatan usaha PLTP Karaha pada tahun 1998 akibat krisis moneter mengakibatkan adanya tuntutan dari Karaha Bodas Company (KBC), kontraktor proyek pembangkit listrik tersebut. Keputusan itu mendorong KBC menuntut Pertamina dan pemerintah untuk membayar ganti rugi.

Pascapenghentian kegiatan operasi, KBC menggugat arbitrase Pertamina. Usai menjalani berbagai proses persidangan, Pengadilan Cayman Islands memutus bersalah Pertamina karena terbukti melanggar kontrak kerja sama dan menghukum ganti rugi US$315 juta.

Belum usai menanggung pahitnya kerugian di masa lalu, PGEO kembali menerbitkan surat utang jumbo sekitar US$400 juta atau sekitar Rp6 triliun. Bukan untuk kegiatan operasional, seluruh emisi obligasi ini akan digunakan perseroan untuk membayar utang kembali (refinancing) yang akan jatuh tempo pada Juni 2023.

Nilai surat utang global yang akan diterbitkan diperkirakan mewakili 20-50% dari ekuitas perseroan setelah IPO. Mengacu pada laporan keuangan per 31 Desember 2022, total ekuitas PGEO mencapai US$1,25 miliar. Dengan demikian, 20—50% dari jumlah tersebut berkisar antara US$251 juta hingga US$627 juta.