UU Kesehatan Minim Partisipasi Publik, Petani Tembakau Merasa Tak Terlindungi
- Ketentuan ini mengakui tembakau sebagai substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, sehingga memberikan dasar hukum untuk kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat.
Nasional
JAKARTA - Pemerintah telah menetapkan produk tembakau sebagai zat adiktif melalui Pasal 149 Ayat (2) Undang-Undang Kesehatan yang telah di sahkan DPR.
Ketentuan ini mengakui tembakau sebagai substansi yang dapat menyebabkan ketergantungan fisik dan psikologis, sehingga memberikan dasar hukum untuk kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat.
Lebih lanjut, Pasal 149 Ayat (3) dalam RUU Kesehatan memperjelas bahwa kategori produk tembakau yang dimaksud mencakup berbagai bentuk tembakau, mulai dari rokok, cerutu, dan rokok daun, hingga tembakau iris, tembakau padat, tembakau cair, serta hasil pengolahan tembakau lainnya.
Dengan memasukkan semua bentuk produk tembakau dalam kategori zat adiktif, UU Kesehatan berpotensi memicu pro-kontra dikalangan masyarakat utamanya dikalangan petani dan pelaku industri tembakau.
- Refleksi Investasi di Akhir Periode Jokowi, Seberapa Canggih Bahlil Tarik Investasi?
- Tak Etis dan Diskriminatif, Materi PP Kesehatan Memberatkan Pedagang
- Siap-Siap, Ini Jadwal MotoGP di Sirkuit Pertamina Mandalika
Kontroversi PP Kesehatan
Berkaitan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Kesehatan yang telah disahkan, masih ada banyak pertanyaan yang mengemuka terkait transparansi dalam proses penyusunannya.
Beberapa pihak menilai, kurangnya keterbukaan pemerintah dalam tahap penyusunan dapat mengindikasikan minimnya partisipasi publik.
“Karena PP tersebut bersifat sepihak. Seharusnya PP tersebut bila akan diundangkan harus ada sosialisasi hukum kebawah,” papar Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Jawa Barat, Nana Suryana, saat dihubungi TrenAsia.
Meskipun secara prinsip, PP Kesehatan sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk melindungi kesehatan publik, ada beberapa kekhawatiran yang perlu diperhatikan.
Salah satu kekhawatiran utama datang dari komunitas petani tembakau. Mereka merasa PP Kesehatan tidak sepenuhnya melindungi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan hanya sebagian.
“Kami sepakat,dengan adanya PP Kesehatan karena itu sangat dibutuhkan masyarakat, tapi PP Kesehatan itu harus melidungi segenap masyarakat, bukan sebagian, saya setuju sekali, kenapa untuk segenap, ini agar tidak diskriminatif bagi kita khususnya petani tembakau” tutur Nana.
- Refleksi Investasi di Akhir Periode Jokowi, Seberapa Canggih Bahlil Tarik Investasi?
- Tak Etis dan Diskriminatif, Materi PP Kesehatan Memberatkan Pedagang
- Siap-Siap, Ini Jadwal MotoGP di Sirkuit Pertamina Mandalika
Beberapa ketentuan dalam PP Kesehatan dianggap diskriminatif terhadap petani tembakau. Misalnya, larangan penjualan rokok eceran, ketentuan bahwa satu bungkus rokok harus berisi minimal 20 batang, dan pembatasan jarak minimal 200 meter dari lokasi pendidikan untuk penjualan rokok, menimbulkan pertanyaan mengenai kemampuan seluruh masyarakat untuk mematuhi aturan-aturan tersebut.
“Otomatis menggerus petani tembakau, yang akhirnya petani tembakau yang akhirnya para petani dirugikan” tambah Nana
Bagi petani tembakau, ketentuan-ketentuan ini dapat berdampak signifikan terhadap pendapatan mereka dan keberlanjutan ekonomi lokal. Mereka merasa aturan-aturan ini tidak mempertimbangkan realitas lapangan yang mereka hadapi sehari-hari.
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih inklusif dan adil dalam penyusunan regulasi kesehatan, yang tidak hanya fokus pada aspek kesehatan masyarakat tetapi juga mempertimbangkan dampak ekonomi dan sosial terhadap semua pihak yang terlibat.
Pemerintah perlu menyeimbangkan kepentingan antara kesehatan masyarakat, industri tembakau, dan petani tembakau agar kebijakan yang diterapkan dapat memberikan manfaat optimal bagi seluruh pihak yang terlibat.