Potret petugas kesehatan memegang vaksin. (sehatnegeriku.kemkes.go.id)
Nasional

Vaksin COVID-19 AstraZeneca Diduga Picu Efek Langka, Ini Faktanya

  • Raksasa farmasi ini digugat class action atas klaim bahwa vaksinnya yang dikembangkan bersama University of Oxford, menimbulkan kematian dan cedera serius dalam banyak kasus.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Vaksin COVID-19 yang dikeluarkan AstraZeneca mendapat sorotan usai muncul beberapa gugatan class action di pengadilan Inggris. Perhatian menjadi kian banyak setelah AstraZeneca mengkonfirmasi melalui dokumen persidangan bahwa vaksinnya dapat menyebabkan sindrom langka atau yang jarang terjadi.

The Telegraph melaporkan, raksasa farmasi ini digugat class action atas klaim bahwa vaksinnya yang dikembangkan bersama University of Oxford, menimbulkan kematian dan cedera serius dalam banyak kasus.

Gugatan pertama di Inggris dilayangkan tahun lalu oleh Jamie Scott, seorang ayah dari dua anak divaksin pada April 2021, kemudian mengalami pembekuan darah dan pendarahan otak. Alhasil, ia mengalami cedera otak permanen.

Menanggapi gugatan yang diajukan Scott, pada Mei 2023 AstraZeneca tidak setuju bahwa TTS disebabkan oleh vaksin yang diberikan pada dosis yang standar. Meskipun demikian, dalam dokumen legal mereka, disebutkan vaksin bisa, dalam kasus yang sangat jarang, menimbulkan TTS, dan mekanisme yang menyebabkannya belum diketahui.

Kuasa hukum Astra Zeneca mengungkapkan, TTS juga bisa terjadi tanpa adanya vaksin AZ atau vaksin apapun. Penyebab dalam setiap kasus individual akan bergantung pada bukti ahli.

Dalam dokumen legal yang disampaikan ke Pengadilan Tinggi pada Februari lalu, dijelaskan dalam kondisi yang sangat langka, vaksin Covid dapat menyebabkan Thrombosis with Thrombocytopenia Syndrome (TTS). TTS adalah kondisi yang mengakibatkan beberapa orang mengalami pembekuan darah dan penurunan jumlah trombosit dalam darah.

Apa Dampak AstraZeneca di Indonesia?

Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), Prof. Hinky Hindra Irawan Satari, menyatakan bahwa berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang saat ini masih dilakukan Komnas KIPI, tidak terdapat kasus sindrom trombosis dengan trombositopenia atau thrombosis with thrombocytopenia syndrome (TTS) setelah pemakaian vaksinasi COVID-19 AstraZeneca di Indonesia.

“Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulaiuji klini tahap 1, 2, 3 dan 4 termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar. Dan pemantauan terhadap keamanan vaksin masih terus dilakukan setelah vaksin beredar,” kata Prof Hinky, dikutip dari Kemkes, pada Jumat, 3 Mei 2024.

Sesuai rekomendasi Badan Kesehatan Dunia (WHO), Komnas KIPI bersama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan BPOM mengadakan surveilans aktif untuk memantau berbagai gejala dan penyakit yang dicurigai berkaitan dengan vaksin COVID-19, termasuk TTS. Survei ini dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi yang memenuhi syarat, selama lebih dari satu tahun.

“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS pada AstraZeneca,” jelas Prof Hinky.

“Jadi, kami melaporkan pada waktu itu tidak ada kasus TTS terkait vaksin COVID-19,” lanjut Prof Hinky.

Gejala dan Tanda Efek Samping

Indonesia menempati posisi keempat di dunia yang melakukan vaksinasi COVID-19, dengan total 453 juta dosis telah diberikan kepada penduduknya, dan 70 juta dosis merupakan vaksin AstraZeneca.

Setelah surveilans aktif selesai, Komnas KIPI tetap melakukan surveilans pasif. Berdasarkan laporan yang masuk, tidak ditemukan laporan kasus TTS.

TTS adalah penyakit yang menyebabkan penderita mengalami pembekuan darah serta trombosit darah yang rendah. Kasusnya sangat jarang terjadi di masyarakat, tapi bisa menyebabkan gejala yang serius.

“Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) bila ditemukan penyakit atau gejala antara 4 sampai 42 hari setelah vaksin disuntikkan. Kalaupun saat ini ditemukan kasus TTS di Indonesia, ya pasti bukan karena vaksin COVID-19 karena sudah lewat rentang waktu kejadianya,” terangnya.

“Namanya trombosis, pembuluh darah membeku. Kalau terjadi di otak muncul gejala pusing, di saluran cerna mual, di kaki pegel. Kalau jumlah trombositnya menurun, ada perdarahan, biru biru di tempat suntikan, ya, itu terjadi, tapi 4-42 hari setelah vaksin. Kalau sekarang terjadi, ya, kemungkinan besar terjadi karena penyebab lain, bukan karena vaksin,” sambung Prof Hinky.

Masyarakat juga masih bisa melaporkan kejadian ikutan pasca-imunisasi atau KIPI pada Komnas KIPI melalui puskesmas terdekat. “Puskesmas sudah terlatih, akan dilakukan investigasi, anamnesis, dan rujukan ke RS untuk akhirnya dikaji Pokja KIPI dan dikeluarkan rekomendasi berdasarkan bukti yang ada.”