Ilustrasi orang dibully.
Nasional

Viral Pria Rendahkan Siswa di Surabaya, Bagaimana Konsekuensi Hukumnya?

  • Baru-baru ini terjadi keributan di salah satu sekolah di Surabaya, Jawa Timur. Hal ini kemudian viral di media sosial, di mana dalam sebuah video tampak seorang pria mengamuk dan marah-marah ke seorang siswa SMA, hingga menyuruhnya untuk meminta maaf sambil bersujud.

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA – Baru-baru ini terjadi keributan di salah satu sekolah di Surabaya, Jawa Timur.  Hal ini kemudian viral di media sosial, di mana dalam sebuah video tampak seorang pria mengamuk dan marah-marah ke seorang siswa SMA, hingga menyuruhnya untuk meminta maaf sambil bersujud. 

Pria tersebut juga meminta siswa tersebut untuk menggonggong layaknya hewan. Peristiwa tersebut terjadi di SMA Kristen (SMAK) Gloria 2 Surabaya. Permasalahan tersebut berawal dari ledekan yang dilakukan oleh siswa SMA kepada anak wali murid tersebut. 

Diduga, ledekan tersebut disampaikan melalui direct message oleh siswa SMA Kristen Gloria 2 Surabaya pada siswa SMA Cita Hati. “Saling ejek di lapangan kemudian di (berlanjut) media sosial,” kata salah seorang sekuriti di SMAK Gloria 2, Kaslan.

Tidak terima anaknya diledek, orang tua murid dari SMA Cita Hati yang bernama Ivan Sugianto langsung menuju SMA Kristen Gloria 2. Ivan diketahui datang bersama beberapa orang mencari siswa SMA bernama Ethan.

Meski orang tua siswa telah meminta maaf atas tuduhan tersebut, Ivan tetap memaksa dan mengancam agar Ethan meminta maaf secara langsung dengan cara bersujud dan menggonggong seperti hewan.

Akibat keributan tersebut, pihak SMAK Gloria 2 melalui salah seorang guru melaporkan kejadian itu ke jalur hukum pada Kamis, 28 Oktober 2024. Laporan tersebut diterima sebagai aduan masyarakat dengan nomor LPM/1121/X/2024/SPKT/POLRESTABES SURABAYA.

Kuasa Hukum SMAK Gloria 2 Sudiman Sidabuke menyatakan, Ivan dilaporkan atas dugaan perbuatan tidak menyenangkan dan pemaksaan kehendak sesuai dengan Pasal 335 KUHP. Selain itu, Ivan juga dilaporkan karena memasuki sekolah tanpa izin dan mengeluarkan suara keras dengan nada mengancam. 

Ia juga diketahui mengambil ID Card guru dan menunjuk-nunjuk dengan penuh amarah. Langkah hukum ini diambil SMAK Gloria 2 untuk menciptakan rasa aman dan memberikan perlindungan bagi siswa-siswi serta tenaga pendidik.

Dua pekan kemudian, Jumat, 8 November 2024, pihak sekolah bertemu dengan sekelompok orang yang sebelumnya mendatangi SMAK Gloria 2, yaitu Nouke CS. Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk saling memaafkan dan berdamai. Namun, proses hukum terhadap Ivan tetap berlanjut.

Aspek Hukum Bullying Terhadap Anak

Dilansir dari Universitas Islam An Nur Lampung, bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang lain yang lebih lemah atau rentan. Bentuk bullying bisa meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi, maupun sosial budaya.

Bullying merupakan masalah serius yang dapat menimbulkan dampak negatif bagi baik korban maupun pelaku, seperti gangguan kesehatan mental, penurunan prestasi akademik, isolasi sosial, hingga risiko bunuh diri.

Dillansir dari Hukum Online, secara umum, tindak pidana bullying atau perundungan dikenal sebagai bentuk kekerasan yang terjadi pada anak-anak di lingkungan sekolah.

Ketika bullying terjadi di sekolah, perilaku ini merupakan tindakan agresif yang dilakukan secara berulang oleh seorang atau sekelompok siswa yang memiliki kekuasaan terhadap siswa lain yang lebih lemah, dengan tujuan untuk menyakiti orang tersebut.

Secara yuridis, menurut Pasal 1 angka 16 UU 35/2014, kekerasan adalah setiap tindakan terhadap anak yang menyebabkan kesengsaraan atau penderitaan fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran. 

Termasuk di dalamnya adalah ancaman untuk melakukan tindakan, pemaksaan, atau perampasan kebebasan yang dilakukan secara melawan hukum. Kasus kekerasan termasuk perundungan di lingkungan pendidikan, telah menjadi sorotan utama karena insidennya yang semakin sering terjadi.

Karena bullying merupakan bentuk kekerasan terhadap anak, maka berdasarkan pengaturan dalam UU Perlindungan Anak beserta perubahannya, bullying tergolong sebagai tindak pidana. Pada intinya, bullying, baik fisik maupun verbal, diatur dalam Pasal 76C UU 35/2014 yang berbunyi sebagai berikut:

Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak.

Apabila larangan tersebut dilanggar, pelaku dapat dikenai Pasal 80 UU 35/2014, yaitu:

1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 76C UU 35/2014, dipidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp72 juta.

2. Apabila anak mengalami luka berat, maka pelaku dipidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling banyak Rp100 juta.

3. Apabila anak meninggal dunia, maka pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun dan/atau denda paling banyak Rp3 miliar.

4. Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan pada ayat (1), (2), dan (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang tuanya.

Pasal 54 UU 35/2014 juga mengatur setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan di sekolah, sebagai berikut:

1. Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.

2. Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.

Dilansir dari Media DPR RI, salah satu prioritas utama negara yang berlandaskan hukum tercermin dari perlindungannya terhadap semua warga negara, termasuk anak-anak. Namun, ketika kasus perundungan diabaikan atau tidak ditangani dengan serius, hal ini mencerminkan kegagalan sistem dalam menjalankan tugasnya melindungi warga negara.

Fenomena yang semakin mengkhawatirkan adalah tidak semua kasus perundungan mendapat perhatian yang layak, terutama jika kasus tersebut tidak viral di media sosial. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran bahwa keadilan tidak selalu ditegakkan, terutama ketika pelaku memiliki kekuasaan atau koneksi kuat dengan institusi penegak hukum.

Sebagai negara yang berasaskan hukum, penegakan keadilan harus menjadi prioritas, khususnya dalam melindungi anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Dengan menggabungkan penegakan hukum yang kuat dan pendidikan karakter yang kokoh, diharapkan dapat membentuk generasi penerus yang bijaksana dan berjiwa keadilan.