
Wacana Driver Wajib ber-KTP Bali Dinilai Diskriminatif, Perlu Eskalasi Nasional
- Ketua Dewan Penasehat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menilai agar isu ini tidak berlarut-larut dan menjadi polemik di masyarakat, Pemda Bali harus segera berkonsultasi dengan pemerintah pusat terkait rencana kebijakan yang akan dibuat tersebut.
Transportasi dan Logistik
JAKARTA – Wacana sopir pariwisata dan transportasi online wajib ber-KTP Bali terus menuai kontra dari para pemangku kepentingan. Pasalnya, wacana tersebut dinilai tidak memiliki dasar hukum dan bahkan berpotensi melanggar hak konstitusi setiap warga negara Indonesia.
Ketua Dewan Penasehat Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menilai agar isu ini tidak berlarut-larut dan menjadi polemik di masyarakat, Pemda Bali harus segera berkonsultasi dengan pemerintah pusat terkait rencana kebijakan yang akan dibuat tersebut.
“Sebaiknya diekskalasi pada tingkat nasional melalui Kemenhub [Kementerian Perhubungan] dan Kemenaker [Kementerian Tenaga Kerja] karena terkait dengan hak dan persyaratan kerja serta akses pekerja WNI antar daerah untuk jenis pekerjaan tertentu,” kata Danang di Jakarta, Minggu (16/2/2025).
Sementara dari perspektif transportasi yang menjadi ranah MTI, Danang lebih menekankan pada perlindungan terhadap pengguna ojek online (ojol). Hal ini baik dalam kaitannya dengan hak memperoleh jaminan keselamatan dan keamanan, serta pelayanan yang sesuai dengan tarif yang dikenakan.
“Ini justru peran Pemda yang lebih penting dan sering terabaikan,” ujar Ketua Umum MTI periode 2010-2013 dan 2013-2016 itu.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua MTI Bali, I Made Rai Ridartha, menegaskan wacana tersebut tidak memiliki dasar hukum dan hanya didorong oleh pihak-pihak tertentu saja. Terlebih kebijakan ber-KTP Bali tersebut hanya diperuntukkan bagi sektor transportasi saja, sehingga semakin tidak relevan.
“Banyak jenis pekerjaan di Bali, kenapa yang di wajibkan hanya transportasi. Kalau dilihat di sektor lain banyak non Bali, bahkan pertukangan dan galian itu mayoritas bukan dari Bali, apakah mereka juga nanti diwajibkan ber-KTP Bali,” ujarnya.
Dengan demikian, menurut Rai, wacana ini sangat diskriminatif, tidak fair, dan melanggar undang-undang. “Dalam rapat terakhir, kami sudah menyampaikan drafnya bahwa kami hanya mendukung KTP nasional, karena kalau hanya KTP Bali itu tidak ada cantolan hukumnya. Kalau memang ada dasar hukumnya coba sampaikan, nanti kita pelajari,” kata Rai.
Picu Konflik
Selain itu menurut Rai, kebijakan ini jika benar diterapkan dapat memicu konflik dan membuat daerah lain menerapkan hal serupa.
Sebab selama ini, banyak juga masyarakat Bali yang bekerja di daerah lain. Misalnya saja Jakarta, bukan hanya Masyarakat Bali yang datang dan bekerja, tetapi juga banyak pendatang dari berbagai penjuru nusantara untuk bekerja di kota tersebut. Sehingga kebijakan bekerja berdasarkan KTP di wilayah tertentu menjadi sangat tidak bijaksana.
“Itu sebabnya kami tidak setuju terkait wacana ber-KTP Bali tersebut. Sepanjang dia WNI kerja di mana saja dan dia memenuhi syarat dan domisili silahkan saja tapi budaya Bali tetap harus dikedepankan. Kita harus berpikirnya nasional dan rasional,” kata Rai.
Sedangkan untuk kendaraan yang digunakan wajib bernopol Bali, MTI siap mendukung. Sebab kendaraan tersebut beroperasional di wilayah Bali dan menggunakan infrastruktur Bali, sehingga pajak kendaraannya juga harus masuk ke dalam pendapatan daerah Bali.
Menurut Rai, yang menjadi persoalan di Bali sebenarnya adalah kemacetan, bukan KTP. Untuk itu seluruh elemen pemda yang terkait harus fokus membenahi masalah kemacetan tersebut.