Wacana Pilkada Melalui DPRD, Begini Tanggapan Beragam Partai
- Menurut Mahfud MD, Pilkada langsung selama ini dinilai “mahal dan jorok” karena banyaknya praktik kecurangan yang mencederai demokrasi. Namun, Mahfud juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menentukan mekanisme terbaik.
Nasional
JAKARTA - Isu perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah kembali bergulir setelah Presiden Prabowo Subianto menyuarakan upaya perbaikan sistem politik yang dinilai tidak efisien dan memakan biaya besar dibandingkan negara-negara lain.
Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyuarakan dukungannya terhadap wacana pilkada melalui DPRD sebagai solusi atas tingginya biaya Pilkada Serentak serta potensi konflik yang sering menyertainya. Wacana ini, menurut Tito, adalah bagian dari pendekatan "pilkada asimetris" yang menyesuaikan mekanisme pemilihan dengan kebutuhan dan kondisi daerah.
"Saya sependapat tentunya, kita melihat sendirilah bagaimana besarnya biaya untuk pilkada. Belum lagi ada beberapa daerah-daerah yang kita lihat terjadi kekerasan, dari dahulu saya mengatakan pilkada asimetris, salah satunya melalui DPRD 'kan," terang Tito di Istana Kepresidenan, Jakarta,dikutip Selas, 17 Desember 2024.
- Penuhi Standar Global, Bank Mandiri Perkuat dan Perluas Sistem Keberlangsungan Bisnis
- Kaleidoskop Kripto 2024: Mulai Adopsi ETF hingga Dampak Terpilihnya Trump
- PPN Naik: Insentif Pemerintah Dinilai Hanya Solusi Jangka Pendek
Wakil Ketua Banggar DPR RI, Jazilul Fawaid, menyoroti tingginya biaya Pilkada Serentak 2024. Menurut Jazizul, di Jawa Barat saja, biaya Pilkada mencapai lebih dari Rp1 triliun. Dengan sistem melalui DPRD, anggaran tersebut dapat dialihkan untuk pembangunan daerah, terutama di wilayah tertinggal,” ujarnya. Bagi Jazilul, usulan ini dapat menjadi langkah efisiensi yang signifikan bagi anggaran negara.
"Itu bukan anggaran yang kecil. Kalau yang Rp1 triliun itu diberikan ke salah satu kabupaten di salah satu provinsi, di NTT misalnya, itu bisa membuat ekonomi bangkit," ujar Jazilul.
Dukungan dan Penolakan dari Partai Politik
Wacana ini mendapat respons beragam dari partai politik. Ganjar Pranowo, politisi PDIP, meminta pemerintah tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Ia menekankan risiko meningkatnya praktik politik uang jika kepala daerah kembali dipilih oleh DPRD. Ganjar Pranowo mengingatkan bahwa perubahan sistem ini tidak hanya soal efisiensi, tetapi juga menyangkut esensi demokrasi.
Sementara itu, PKS melalui Tifatul Sembiring menyatakan dukungannya, Tifatul menilai Pilkada langsung terlalu mahal dan sering memecah belah masyarakat. Dukungan serupa datang dari PKB. Ketua Harian PKB, Ais Syafiah menegaskan partainya sudah lama mendukung pemilihan kepala daerah melalui DPRD, karena anggaran besar seharusnya dialokasikan untuk pembangunan rakyat.
Di sisi lain, NasDem mengusulkan mekanisme berbeda. Menurut Politisi Nasdem, Irma Chaniago, gubernur tidak perlu dipilih langsung karena hanya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat. Namun, menurut Irma pemilihan langsung untuk bupati dan wali kota tetap diperlukan karena mereka lebih dekat dengan masyarakat.
- Penuhi Standar Global, Bank Mandiri Perkuat dan Perluas Sistem Keberlangsungan Bisnis
- Kaleidoskop Kripto 2024: Mulai Adopsi ETF hingga Dampak Terpilihnya Trump
- PPN Naik: Insentif Pemerintah Dinilai Hanya Solusi Jangka Pendek
Tanggapan serupa disampaikan oleh Menurut Mahfud MD, Pilkada langsung selama ini dinilai “mahal dan jorok” karena banyaknya praktik kecurangan yang mencederai demokrasi. Namun, Mahfud juga menekankan perlunya kehati-hatian dalam menentukan mekanisme terbaik.
"Bagus, menurut saya itu bagus, dalam arti untuk mengevaluasi lagi apakah harus kembali ke DPR atau tidak, kita bicarakan. Tapi, harus dievaluasi karena yang sekarang ini selain mahal juga jorok yang sekarang terjadi ini," ungkap Mahfud di UII, Sleman, DIY, Jumat, 13 Desember 2024 yang lalu.
Polemik mengenai wacana pilkada melalui DPRD mencerminkan dilema antara kebutuhan efisiensi anggaran dan komitmen terhadap demokrasi partisipatif. Dengan berbagai pihak yang menyuarakan pro dan kontra, masa depan sistem politik Indonesia berada di persimpangan jalan. Kajian mendalam dan diskusi lintas sektor akan menjadi kunci dalam menentukan arah terbaik bagi demokrasi di Tanah Air.