<p>Ilustrasi Fintech pinjaman online atau kredit online ilegal. / Foto: Modalrakyat.id</p>
Ekonomi, Fintech & UMKM

Waduh! 170 Server Fintech Ilegal dari Amerika Serikat

  • Dari 1.270 entitas fintech P2P lending ilegal, sebanyak 272 server berlokasi di Indonesia. Sementara itu, lokasi server lainnya meliputi, 170 server di Amerika Serikat, sebanyak 94 server asal Singapura, 70 server dari China, Malaysia sebanyak 22 server, dan Hong Kong sebanyak 9 server.

Ekonomi, Fintech & UMKM
Khoirul Anam

Khoirul Anam

Author

JAKARTA – Penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal yang tersebar di Indonesia dikembangkan dari berbagai negara.

Dalam temuannya terhadap penyelenggara fintech P2P lending ilegal, Satgas Waspada Investasi (SWI) mencatat, adanya berbagai negara yang menjadi lokasi server dari penyelenggara tiap-tiap fintech P2P ilegal tersebut.

“Kegiatan-kegiatan ini contohnya ada di Amerika server-nya, juga di China, Singapura, Malaysia,” kata Ketua SWI Tongam L. Tobing dalam diskusi diskusi virtual, Senin, 13 Juli 2020.

Tongam memaparkan, dari 1.270 entitas fintech P2P lending ilegal, sebanyak 272 server berlokasi di Indonesia. Sementara itu, lokasi server lainnya meliputi, 170 server di Amerika Serikat, sebanyak 94 server asal Singapura, 70 server dari China, Malaysia sebanyak 22 server, dan Hong Kong sebanyak 9 server.

Adapun selain di lokasi-lokasi tersebut, sebanyak 530 server berasal dari lokasi yang tidak terdeteksi, sedangkan sisanya tersebar di negara-negara seperti Belanda, Rusia, Inggris, Jerman, Prancis, Korea, dan lain-lain.

“Dan kegiatan-kegiatan ini merupakan suatu, kalau kami bisa katakan, ada mafia Rusia, India, seperti itu, yang memang mencari keuntungan yang dari masyarakat,” papar dia.

Sebelumnya, SWI kembali membongkar sebanyak 105 fintech P2P lending ilegal dalam penindakannya pada Juni lalu. Temuan tersebut menambah deret fintech P2P lending ilegal yang ditangani SWI sejak tahun 2018 hingga 2020, yakni tercatat 2.591 entitas.

Bisnis Fintech P2P Lending Ilegal

Lebih lanjut, dia menduga bahwa kegiatan fintech P2P lending ilegal tidak murni memberikan pinjaman seperti fintech P2P lending pada umumnya. Fintech-fintech P2P lending ilegal tersebut tidak menjadi jembatan antara pihak yang membutuhkan (borrower) dan pihak pendana (lender).

“Di fintech P2P lending ilegal ini, ibaratnya adalah seperti memang, kegiatan perusahaan pembiayaan. Tidak diambil dari masyarakat secara peer-to-peer, tetapi dananya memang dari dia,” lanjut dia.

Dugaaan tersebut, menurut Tongam, berdasarkan dari banyaknya pengaduan yang berasal dari para borrower alias peminjam. Sementara pengaduan dari para lender tidak pernah datang.

“Yang ada itu, yang mengadu adalah para korban-korbannya. Yang korban sering kena tipu dengan syarat-syarat yang berubah-ubah,” ujar Tongam.

Lebih lanjut, Tongam menyebutkan ciri-ciri yang dapat diketahui dari fintech P2P lending ilegal. Salah satu cirinya adalah melakukan teror intimidatif terhadap nasabah yang tidak mampu membayar. Selain itu, fintech P2P lending ilegal menetapkan bunga dan jangka waktu pinjaman yang tidak jelas.

“Kita lihat ciri-cirinya ini memang sudah tidak asing lagi. Tapi, yang paling utama adalah tidak terdaftar di OJK (Otoritas Jasa Keuangan),” lanjut dia.

Adapun pelaku fintech P2P lending ilegal tidak hanya menggunakan Google Play Store untuk menawarkan aplikasi. Penawaran juga dilakukan melalui tautan unduh yang disebarkan ke pesan singkat calon korban. (SKO)