Waduh! ChatGPT Dilaporkan Dibangun dari Pekerja Outsourcing Kenya yang Dibayar Rendah
- Chatbot Open AI, ChatGPT dilaporkan dibangun menggunakan kontribusi dari pekerja outsourcing Kenya yang dibayar rendah.
Tekno
JAKARTA - Sejak akhir tahun 2022 lalu, ChatGPT dari OpenAI memang sering diperbincangkan banyak orang.
Hal ini karena ChatGPT dikabarkan mampu melakukan berbagai pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, seperti menulis sebuah teks, isi surat, menjawab pertanyaan, atau bercakap-cakap.
Seperti yang dilansir dari laman The Independent, Chatbot Open AI, ChatGPT dilaporkan dibangun menggunakan kontribusi dari pekerja outsourcing Kenya yang dibayar rendah.
Menurut penyelidikan dari Time, Chatbot tersebut dibangun dengan bantuan dari tim pelabelan data yang berbasis di Kenya, di mana para pekerja diberi gaji kurang dari US$2 atau kurang dari Rp29.965 per jam.
- Dari Pembawa Berita hingga Penulis Naskah, Ragam Penggunaan AI di Perusahaan Media Massa
- Habiskan Anggaran Rp14 Triliun, 13 Bendungan Ditarget Rampung Tahun 2023
- Inilah 10 Binatang Tercerdas di Planet Bumi
Pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja tersebut sangat penting untuk OpenAI. Pendahulu ChatGPT yaitu GPT-3 telah menunjukkan kemampuan yang mengesankan untuk merangkai kalimat.
Akan tetapi, hal ini bisa membuat penjualan jadi lebih sulit karena chatbot tersebut masih cenderung melontarkan komentar soal kekerasan, seksis, dan rasis. Hal ini karena AI telah dilatih oleh ratusan miliar kata yang diambil dari internet.
Kumpulan data yang diperoleh dari internet ini memang menjadi kemampuan linguistik GPT-3 yang mengesankan, tapi juga menjadi kutukan terbesarnya. Hal ini karena sebagian internet penuh dengan berbagai hal yang toksik dan bias serta tidak ada cara yang mudah untuk membersihkan bagian dari data tersebut.
Bahkan, tim yang terdiri dari ratusan manusia akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk menelusuri kumpulan data yang sangat banyak secara manual. Oleh karena itu, OpenAI membangun sistem keamanan dari ChatGPT dengan mengambil contoh dari buku pedoman perusahaan media sosial seperti Facebook yang telah membangun AI yang mampu mendeteksi bahasa toksik seperti ujaran kebencian dan membantu menghapusnya dari platform mereka.
Untuk mendapatkan label tersebut, OpenAI mengirimkan puluhan ribu potongan teks ke perusahaan outsourcing yang ada di Kenya mulai November 2021 lalu. Sebagian besar teks tersebut tampaknya ditarik dari ceruk tergelap di internet, beberapa di antaranya menggambarkan situasi dalam detail yang grafis.
Pekerja dilaporkan harus membaca ratusan entri semacam ini setiap hari untuk mendapatkan upah sekitar US$1 sampai US$2 per jam atau gaji bulanan sekitar US$170.
- Tak Sampai Sejam, 4 Kebiasaan Ini Buat Anda Cerdas dan Sukses
- Mengenal Stoikisme, Filosofi yang Membawa Hidup Lebih Tenang dan Bahagia
- 5 Fakta Tentang Solo Safari, Taman Safari Baru di Solo
Dilansir dari The Independent, pekerja dari Kenya ini dikelola oleh Sama, sebuah perusahaan yang berbasis di San Fransisco. Namun, Sama dilaporkan telah mengakhiri semua pekerjaan kontraknya untuk OpenAI pada Februari 2022, jauh lebih awal dari yang direncanakan.