Waduh! Pinjol Ilegal Bikin Komplotan Jerat Konsumen
“Jadi, kalau saya pinjam di A, tidak bisa bayar, dia akan arahkan ke B, arahkan ke C. Itu komplotan dia sebenarnya sehingga makin jatuh terjebak masyarakat kita,” kata Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L. Tobing.
Nasional
JAKARTA – Penanganan penyelenggara fintech peer-to-peer (P2P) lending ilegal mendapati beberapa kendala. Ketua Satgas Waspada Investasi (SWI) Tongam L. Tobing mengungkapkan, hal ini menjadikan fintech P2P lending ilegal kian marak.
Tongam memaparkan bahwa pelaku fintech P2P lending ilegal membentuk komunitas untuk memanfaatkan para korbannya.
“Jadi, kalau saya pinjam di A, tidak bisa bayar, dia akan arahkan ke B, arahkan ke C. Itu komplotan dia sebenarnya sehingga makin jatuh terjebak masyarakat kita,” papar dia dalam diskusi virtual, Senin, 13 Juli 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Tongam kemudian mencontohkan laporan dari korban fintech P2P lending ilegal. Dalam laporan tersebut, korban mengaku telah menggunakan 141 penyelenggara jasa fintech P2P lending. Sementara itu, korban menyatatakan bahwa dirinya tidak dapat memastikan legalitas ke-141 fintech P2P lending tersebut.
Korban Harus Berani Lapor
Selain itu, kendala lain menurut Tongam, yakni fintech P2P lending ilegal memanfaatkan kekosongan hukum. Kendala ini, kata dia, berkaitan dengan belum adanya hukum yang dapat menjerat penyelenggara fintech P2P lending ilegal.
“Nah, ini juga memang menjadi masalah bagi kita bahwa belum ada hukum kita yang sekarang. Kemudian perangkat hukum, belum ada undang-undang fintech untuk menjerat yang ilegal,” ujar dia.
Penyelenggara fintech P2P lending ilegal hanya dapat dipidana ketika mereka melakukan penagihan tidak bertika sebagaimana termuat dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Lebih jauh, Tongam menungkapkan bahwa para korban tidak fintech P2P lending ilegal tidak banyak yang mengadu atau melapor kepada SWI OJK.
“Selain itu, korban tidak melapor ke polisi. Mereka lebih memilih lapor di media sosial,” ungkapnya.
Tongam juga memaparkan bahwa penanganan perkara fintech P2P lending ilegal belum mendapatkan prioritas. Di samping itu, biaya perkara tidak sebanding dengan kerugian yang ditimbulkan. Adapun proses hukum fintech P2P lending ilegal lebih mengarah kepada desk collection. (SKO)