<p>Petugas keamanan berjaga dengan latar belakang logo beberapa perusahaan asuransi di Kantor Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) di Jakarta, Rabu 10 Juni 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Industri

Wah! Industri Asuransi Sumbang Defisit Transaksi Berjalan Rp9,2 Triliun

  • Defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia sepanjang 2019 menyempit jadi US$30,4 miliar atau setara dengan 2,72% dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan capaian 2018 sebesar US$30,6 miliar atau 2,94% dari PDB.

Industri
Aprilia Ciptaning

Aprilia Ciptaning

Author

JAKARTA – Industri asuransi menyumbang defisit transaksi berjalan sebesar Rp9,2 triliun pada 2019.

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Riswinandi mengatakan defisit transaksi berjalan (current account deficit) Indonesia sepanjang 2019 menyempit jadi US$30,4 miliar atau setara dengan 2,72% dari total produk domestik bruto (PDB) dibandingkan dengan capaian 2018 sebesar US$30,6 miliar atau 2,94% dari PDB.

“Tidak hanya di dalam negeri, kegiatan industri asuransi juga melibatkan di luar negeri. Inilah yang menyebabkan asuransi ikut menyumbang defisit transaksi berjalan sebesar Rp9,2 triliun pada tahun lalu,” ungkapnya dalam konferensi pers daring, Kamis, 24 September 2020.

Ia menjelaskan, defisit terjadi lantaran nilai transaksi keluar dari industri asuransi mencapai Rp11,12 triliun. Sedangkan aliran dana yang masuk di sektor ini hanya sebesar Rp1,9 triliun.

Kebijakan terkait penguatan industri asuransi terhadap perdagangan internasional memang diatur dalam POJK Nomor 39/POJK.05/2020, aturan yang merupakan revisi dari POJK sebelumnya. Saat ini, perusahaan asuransi telah diberikan keleluasaan untuk meningkatkan efektivitas penyebaran risiko sederhana maupun tinggi.

Sementara itu, regulasi terdahulu yang dimaksud, yakni POJK Nomor 14/POJK.05/2016 tentang Retensi Sendiri dan Dukungan Reasuransi Dalam Negeri. Dalam aturan tersebut, kata Riswinandi, perusahaan asuransi wajib memperoleh 10% dukungan reasuransi dalam negeri untuk risiko sederhana, seperti asuransi kendaraan bermotor, kesehatan, kecelakaan diri, kematian, dan sebagainya.

“Namun, sekarang perusahaan asuransi diberi keleluasaan menggunakan jasa perusahaan reasuransi luar negeri,” ungkapnya.

Meskipun demikian, Riswinandi pun menegaskan, OJK tetap mengatur batasan tersebut. Menurutnya, dukungan reasuransi hanya dapat diperoleh dari perusahaan asuransi luar negeri, yang berdomisili di negara mitra, serta memiliki perjanjian bilateral dengan Indonesia.

Di sisi lain, ia juga mengimbau perusahaan asuransi dan reasuransi dalam negeri untuk meningkatkan daya saing dengan memperkuat akses permodalan. (SKO)