<p>Sejumlah unit mobil baru berada di salah satu showroom penjualan Mitsubishi kawasan Mampang, Jakarta Selatan, Senin, 19 Oktober 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia</p>
Nasional

Wah! Kasus Kredit Leasing Makin Marak, Pahami Hak dan Kewajiban Konsumen

  • Data Direktorat Pemberdayaan Konsumen menunjukkan, sebanyak 1.354 kasus pembiayaan leasing terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir (2017-2019). Rinciannya, pada 2017 sebanyak 366 kasus, 2018 sebanyak 571 kasus, dan 2019 sebanyak 417 kasus.

Nasional
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Kementerian Perdagangan (Kemendag) mencatat pembiayaan leasing menjadi sengketa konsumen yang paling sering terjadi. Dalam banyak kasus, konsumen menjadi pihak yang paling sering dirugikan karena ketidaktahuan akan hak dan kewajiban dalam pembiayaan leasing.

Data Direktorat Pemberdayaan Konsumen menunjukkan, sebanyak 1.354 kasus pembiayaan leasing terjadi dalam kurun tiga tahun terakhir (2017-2019). Rinciannya, pada 2017 sebanyak 366 kasus, 2018 sebanyak 571 kasus, dan 2019 sebanyak 417 kasus.

“Untuk itu, permasalahan pembiayaan leasing perlu diangkat agar konsumen semakin sadar dan memahami hak dan kewajibannya,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN), Veri Anggrijono, dikutip dari laman resmi Kemendag, Selasa, 27 Oktober 2020.

Risiko sengketa dalam pembiayaan leasing meningkat seiring dengan melemahnya kemampuan bayar konsumen selama pandemi COVID-19.

Untuk mengantisipasi hal itu, pemerintah mengeluarkan relaksasi melalui Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 Tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Kebijakan Countercyclical Dampak Penyebaran Coronavirus Disease 2019.

“Sayangnya, konsumen pembiayaan leasing ternyata belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan akibat hilangnya kemampuan bayar mereka,” ujarnya.

Ragam Kasus Sengketa Leasing

Veri mengidentifikasi sejumlah faktor penyebab terjadinya permasalahan pembiayaan leasing. Pertama, konsumen tidak memahami isi perjanjian yang ditandatangani.

Kedua, konsumen tidak diberikan salinan perjanjian/dokumen terkait produk yang dibeli/dimanfaatkan. Ketiga, penandatanganan akta perjanjian jual beli tidak dilakukan di depan notaris.

Keempat, tidak adanya kesempatan konsumen untuk membaca terlebih dahulu isi klausul perjanjian. Kelima, tidak adanya ruang komunikasi persuasif perjanjian dari konsumen yang telah dibuat sepihak oleh kreditur

Sejumlah kasus yang terdokumentasi biasanya berupa penarikan paksa kendaraan akibat keterlambatan pembayaran. Kemudian, konsumen dipaksa menandatangani berita acara penyerahan objek jaminan, bahkan tanpa menunjukkan sertifikat jaminan fidusia yang telah didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

Selain itu, konsumen harus membayar biaya denda dan biaya lainnya yang tidak diinformasikan di awal oleh pelaku usaha. Terakhir, adanya penarikan paksa dan perlakuan tidak mengenakkan dari juru tagih yang bertindak selayaknya juru sita pengadilan atau penegak hukum.

Secara hukum, kreditur berhak mengeksekusi apabila konsumen memang wanprestasi. Namun, tata cara eksekusi wajib berpedoman pada Undang-Undang (UU) 42/ 1999 tentang Jaminan Fidusia (UUJF).

Dalam UU tersebut, konsumen berhak mengetahui segala informasi dari proses eksekusi sampai dengan proses pelelangan maupun penjualan di bawah tangan. Konsumen berhak mendapatkan selisih dari nilai penjualan objek jaminan setelah dikurangi nilai tunggakannya.

Perlindungan konsumen juga diatur dalam Pasal 4 UU 8/ 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Di sana diatur sejumlah hak dan perlindungan konsumen.

Berbagai hak tersebut antara lain hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut.

Serta hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif. (SKO)