Ilustrasi pernikahan.
Nasional

Wakil Ketua MPR Kritik Rencana KUA jadi Tempat Nikah Semua Agama

  • Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi VIII DPR, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengkritik rencana Menteri Agama yang ingin menjadikan pencatatan nikah dari berbagai agama menjadi terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Nasional

Distika Safara Setianda

JAKARTA - Wakil Ketua MPR sekaligus Anggota Komisi VIII DPR, Hidayat Nur Wahid (HNW), mengkritik rencana Menteri Agama yang ingin menjadikan pencatatan nikah dari berbagai agama menjadi terpusat di Kantor Urusan Agama (KUA).

Menurut HNW, Menag Yaqut Cholil Qoumas lebih baik fokus mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi oleh Bimas Islam.

“Bukan justru offside mengarahkan Bimas Islam turut mengurusi agama lain, seperti menjadikan KUA menjadi tempat pencatatan pernikahan agama selain Islam juga, padahal KUA adalah institusi di bawah Dirjen Bimas Islam. Hal yang tidak sejalan dengan aturan tata kelola organisasi Kemenag yang dikeluarkan sendiri oleh Menag,” kata HNW dalam keterangannya, pada Selasa, 27 Februari 2024.

HNW berpendapat usulan untuk menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah untuk semua agama sebaiknya dibatalkan. Dia menyatakan lebih baik Menag memperkuat peran KUA dalam menawarkan solusi bagi permasalahan masyarakat saat ini.

Hal ini dikarenakan peningkatan layanan penyuluhan nikah semakin penting mengingat meningkatnya kasus kekerasan dalam rumah tangga, terutama karena angka perceraian yang semakin tinggi, mencapai 516.334 kasus selama tahun 2022.

“Lebih maslahat bila Menag membatalkan niatnya menjadikan KUA juga sebagai tempat pencatatan nikah semua Agama, dan lebih banyak maslahatnya bila Menag menguatkan peran dan fungsi dari KUA untuk menjadi bagian dari solusi masalah penyimpangan dari ajaran Agama Islam yang terjadi di masyarakat,” ungkap dia.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS menyatakan, rencana tersebut tidak sejalan dengan filosofi sejarah KUA di Indonesia dan aturan yang ada, termasuk amanat UUD NRI 1945. Menurutnya, rencana tersebut berpotensi menimbulkan masalah sosial dan psikologis di kalangan non-muslim, serta dapat menyebabkan ketidakefisienan prosedural.

“Faktor sejarah terkait pembagian pencatatan pernikahan itu harusnya dirujuk, agar niat baik Menag tidak malah offside atau melampaui batas. Apalagi soal menjadikan KUA sebagai tempat pencatatan nikah bagi semua Agama yang berdampak luas dan melibatkan semua umat beragama belum pernah dibahas dengan Komisi VIII DPR-RI,” ucapnya.

HNW juga menyuarakan pertanyaan terkait ketentuan pencatatan nikah di Indonesia. Menurutnya, rencana yang diusulkan oleh Menag tidak relevan dan hanya akan menambah beban tugas KUA yang sebagian besar dari mereka menghadapi kekurangan sumber daya manusia dan tidak memiliki kantor sendiri.

Bahkan, usulan kebijakan tersebut diyakini akan meningkatkan beban bagi warga non-muslim yang akan menikah.

“Jika KUA juga ditugasi mencatat nikah semua agama, apakah artinya akan dibuat ketentuan baru bahwa KUA tidak lagi berada di bawah Ditjen Bimas Islam? Jika masih di Bimas Islam maka apa relevansinya mencatatkan pernikahan non-muslim,” katanya.

“Dan apakah non-muslim juga akan menerima pencatatan pernikahan mereka di lembaga yang berada di bawah Ditjen Bimas Islam? Juga komisi VIII DPR RI apa juga akan menerima hal yang ahistoris dan alih-alih menjadi solusi, malah bisa menimbulkan banyak keresahan dan disharmoni,” pungkas dia.

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), mengatakan sejak tahun 2024 ini, KUA akan berfungsi sebagai tempat pernikahan untuk semua agama. Pernyataan tersebut disampaikannya saat Rapat Kerja Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam di Jakarta pada Sabtu, 24 Februari 2024.

“Kita sudah sepakat sejak awal bahwa KUA ini akan kita jadikan sebagai sentral pelayanan keagamaan bagi semua agama. KUA bisa digunakan untuk tempat pernikahan semua agama,” kata Gus Yaqut.

Pada Januari 2024, di seluruh Indonesia, terdapat 86.820 pasangan yang memilih untuk menikah di luar KUA, sementara hanya 31.160 pasangan yang memilih menikah di dalam KUA. Pada Februari, jumlah pasangan yang menikah di luar KUA adalah 83.180, sedangkan yang menikah di dalam KUA hanya 25.977.

Terlebih, Menag juga berencana mengembangkan fungsi KUA tidak hanya untuk mencatat pernikahan dalam agama Islam, tetapi juga untuk agama-agama lainnya.

“Sekarang ini jika kita melihat saudara-saudari kita yang non-muslim, mereka ini mencatat pernikahannya di pencatatan sipil. Padahal, itu seharusnya menjadi urusan Kementerian Agama,” terangnya.

Menag juga berharap aula-aula KUA bisa difungsikan sebagai tempat ibadah sementara bagi umat non-muslim. Langkah ini diambil untuk memberikan bantuan kepada umat non-muslim yang mengalami kesulitan dalam membangun tempat ibadah mereka sendiri karena alasan ekonomi, sosial, atau lainnya.