OJK
Finansial

Waspada, 5 Ciri Investasi Bodong Menurut OJK

  • JAKARTA - Indonesia pernah dibuat heboh dengan pemberitaan korban-korban investasi bodong. Kerugian yang diakibatkan dari kegiatan investasi bodong atau investa

Finansial

Rumpi Rahayu

JAKARTA - Indonesia pernah dibuat heboh dengan pemberitaan korban-korban investasi bodong. Kerugian yang diakibatkan dari kegiatan investasi bodong atau investasi ilegal cukup besar. 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan berbagai ciri-ciri atau indikator investasi bodong di masyarakat diantaranya yaitu:

1. Tidak Berizin/ Izin Palsu

Sebelum memutuskan berinvestasi, investor sebaiknya melakukan pengecekan terkait perizinan usaha dari pihak yang menawarkan investasi tersebut. Pada umumnya badan hukum dari perusahaan investasi bodong tidak memiliki perizinan yang jelas. 

Perusahaan di bidang keuangan dan investasi harus terdaftar dan memiliki izin dari otoritas.

2. Menawarkan Keuntungan Sangat Besar

Menawarkan keuntungan yang besar dan tidak masuk akal, terlebih dalam jangka waktu yang singkat adalah hal yang tidak masuk akal dan harus diwaspadai. 

Perlu diingat, bahwa keuntungan investasi besar, pasti akan diikuti oleh risiko yang besar pula.

3. Diminta Mencari Nasabah Baru

Investor diminta mencari investor baru dengan imbalan mendapatkan fee/ bonus.

4. Dapat Berhenti Kapan Saja

Pada saat penawaran, investor diperbolehkan berhenti untuk berinvestasi kapan saja dan dapat mengambil keuntungan tanpa memperhatikan periode investasi.

5. Perusahaan yang Produknya Tidak Jelas

Ciri-ciri investasi bodong lainnya adalah perusahaan yang produknya tidak jelas. Dimana sulit menemukan informasi mengenai perusahaan dan produk investasinya melalui website resmi.

OJK juga mengatakan bahwa terdapat 2 (dua) faktor utama penyebab investasi ilegal, yaitu:

1. Kemajuan teknologi memudahkan pelaku untuk membuat aplikasi dan penawaran melalui media sosial dan promosi digital dari luar negeri sehingga sulit terlacak.

2. Banyak orang yang belum memahami kiat-kiat investasi, sehingga mudah tergiur dengan penawaran investasi berimbal hasil tinggi. Rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat. Terlebih sifat manusia pada dasarnya ingin cepat kaya.