<p>Dompet digital asal China, Alipay dan WeChat resmi masuk ke Indonesia / Reuters</p>

WeChat Pay dari China Masuk RI, Ekosistem Ekonomi Digital Terancam

  • Kementerian Parekraf perlu mempelajari masalah ini. Sebab ketika segmen turis digarap, bisa jadi mereka akan menjadi zero tourism

Drean Muhyil Ihsan

Drean Muhyil Ihsan

Author

JAKARTA – Executive Director Indonesia ICT Institute Heru Sutadi menyatakan, masuknya dompet digital seperti WeChat Pay dan Alipay milik Grup Alibaba dianggap akan mengancam ekonomi digital dalam negeri.

Bahkan, teknologi finansial asal negeri Tirai Bambu tersebut berpotensi menggerus industri pariwisata Tanah Air.

Baru-baru ini WeChat Pay resmi beroperasi di Indonesia melalui PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA). Platform ini menyasar para wisatawan asal China yang berada di Indonesia.

Dengan platform tersebut, memungkinkan warga negara China di Indonesia memenuhi berbagai kebutuhan tanpa harus menukarkan uang tunai dalam bentuk rupiah.

Menurutnya, alasan menyasar turis asal China merupakan pintu masuk perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya di pasar Indonesia. Setelah besar dan ekosistem terbangun, Heru menyebut perusahaan-perusahaan tersebut akan masuk ke segmen lain.

“Kementerian Parekraf perlu mempelajari masalah ini. Sebab ketika segmen turis digarap, bisa jadi mereka akan menjadi zero tourism,” ujarnya kepada TrenAsia.com, Senin 12 Oktober 2020.

Artinya, kata Heru, tidak akan ada rupiah yang dikeluarkan oleh warga asing tersebut yang seharusnya dapat menggerakkan ekonomi daerah wisata.

Sebab, ia bilang ekosistem yang dibangun biasanya mengarahkan para turis ini akan menggunakan jasa transportasi, hotel, hingga restoran yang dimiliki pengusaha asal China juga.

“Yang terdampak nanti bukan hanya fintech, tapi esensi dari industri pariwisata yang terancam di mana devisa yang diharapkan ternyata justru jadi devisanya Tiongkok,” jelasnya.

Cuma Numpang Lewat

Sebelumnya, Bank Indonesia telah mengatur operasi penerbit dompet digital asing ini secara terbatas, hanya sebagai penerbit dan tidak diperbolehkan memproses transaksi. Sehingga, mereka mesti bekerja sama dengan bank BUKU IV nasional.

Dalam kerja sama tersebut, bank BUKU IV bakal jadi acquirer yang memproses transaksi para penerbit asing tersebut sekaligus sebagai penampung dana floating minimum 30% yang mesti ditempatkan penerbit asing di BUKU IV dalam bentuk kas dan giro.

Terkait hal itu, Heru menegaskan bahwa yang penting bagi pelaku fintech asal China ini adalah akses. Baginya, bank hanya sebagai gateway untuk pengisian atau top up saldo.

“Ini kan seperti yang dilakukan pada mobile payment yang ada sekarang,” tutupnya. (SKO)