WHO Sebut Kesehatan Mental jadi Hantu Baru di Tengah Pandemi
JAKARTA – Survei yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuktikan pandemi COVID-19 mengganggu atau menghentikan layanan kesehatan mental di 93% negara di dunia. Di sisi lain, pandemi meningkatkan risiko kesehatan mental yang disebabkan oleh kabar duka, isolasi, kehilangan pendapatan, dan ketakutan. Hal tersebut memicu kondisi kesehatan mental atau memperburuk kondisi yang sudah ada. Banyak orang […]
Gaya Hidup
JAKARTA – Survei yang dilakukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) membuktikan pandemi COVID-19 mengganggu atau menghentikan layanan kesehatan mental di 93% negara di dunia.
Di sisi lain, pandemi meningkatkan risiko kesehatan mental yang disebabkan oleh kabar duka, isolasi, kehilangan pendapatan, dan ketakutan. Hal tersebut memicu kondisi kesehatan mental atau memperburuk kondisi yang sudah ada.
Banyak orang yang tercatat mengalami peningkatan konsumsi alkohol dan obat-obatan, insomnia, dan kecemasan. Sedangkan COVID-19 sendiri dapat menyebabkan komplikasi neurologis dan mental, seperti delirium, agitasi, dan stroke.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Orang dengan gangguan mental, neurologis, atau penggunaan zat juga lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2 ̶ mereka mungkin memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami hasil yang parah dan bahkan kematian.
“Kesehatan mental yang baik sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan,” kata Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia, dikutip dari publikasi WHO, Selasa, 6 Oktober 2020.
Kondisi Kesehatan Mental Dunia
Lebih dari 60% negara melaporkan gangguan layanan kesehatan mental, termasuk anak-anak dan remaja (72%), orang dewasa yang lebih tua (70%), dan wanita yang membutuhkan layanan antenatal atau postnatal (61%).
Ada 67% gangguan pada konseling dan psikoterapi, 65% untuk layanan pengurangan bahaya kritis, dan 45% untuk pengobatan pemeliharaan agonis opioid untuk ketergantungan opioid.
Lebih dari sepertiga (35%) melaporkan gangguan pada intervensi darurat, 30% melaporkan gangguan terhadap akses pengobatan untuk gangguan mental, neurologis, dan penggunaan zat. Sekitar tiga perempat melaporkan setidaknya gangguan pada layanan kesehatan mental di sekolah dan tempat kerja masing-masing 78% dan 75%.
Sementara, banyak negara (70%) telah mengadopsi telemedicine atau teleterapi untuk menggantikan pertemuan tatap muka. Namun, keberhasilan adopsi telemedicine di negara berpenghasilan rendah hanya berhasil kurang dari 50%.
Jauh berbeda dengan negara maju yang berhasil hingga lebih dari 80%. Untuk menjawab ini, WHO telah mengeluarkan panduan bagaimana pelayanan kesehatan mental selama COVID-19. Sayangnya, meskipun 89% negara melaporkan adanya risiko gangguan layanan mental, tapi hanya 17% di antaranya yang memiliki cukup dana.
Menurut WHO, pengeluaran 2% dari anggaran kesehatan nasional untuk kesehatan mental tidaklah cukup. Setidaknya diperlukan pendanaan internasional.
Perkiraan pada masa pra-COVID-19 mengungkapkan depresi dan kecemasan bisa menghilabgkan US$ 1 triliun produktivitas ekonomi. Sebaliknya, setiap US$ 1 yang dibelanjakan untuk perawatan mental terbukti menghasilkan US$ 5.