Ilustrasi air bersih. (Unsplash/Nathan Dumlao)
Nasional

WWF 2024 dan Ironi Kondisi Air Bersih di Indonesia

  • Berdasarkan hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2020, diketahui 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E-coli).
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - World Water Forum (WWF) Bali 2024 diperkirakan menarik lebih dari 30.000 peserta dari lebih dari 170 negara. Forum ini akan menampilkan berbagai acara seperti sesi pleno, acara sampingan, pameran, dan lokakarya. Forum ini juga akan menjadi tempat berkumpulnya generasi muda yang tertarik dengan isu air.

Sebagai negara maritim, Indonesia sangat layak menjadi tuan rumah acara bergengsi ini. Namun, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan, mulai dari kelangkaan air, kekeringan parah, polusi, hingga banjir.

Oleh karena itu, WWF Bali adalah kesempatan bagi Indonesia untuk menunjukkan sumber daya dan keahlian dalam pengelolaan air, serta berbagi pengalaman dalam mengatasi berbagai tantangan air. Forum ini juga menjadi peluang bagi Indonesia untuk membangun kemitraan dengan negara-negara lain dalam menghadapi masalah tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pernah menyebut (2017), terhitung 2 miliar orang di seluruh dunia hidup tanpa akses air bersih. Diperkirakan, 1 dari 4 orang kekurangan air minum yang layak. Pada tahun 2019, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) juga mencatat 2,2 miliar orang atau seperempat populasi dunia masih kekurangan air minum yang aman dikonsumsi.

Kualitas Air Minum Rumah Tangga

Di balik penyelenggaraan WWF tahun ini, Indonesia sejatinya masih memiliki segudang PR dalam pengelolaan air bersih. Berdasarkan hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga (SKAMRT) dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2020, diketahui 7 dari 10 rumah tangga di Indonesia mengonsumsi air minum yang terkontaminasi bakteri Escherichia coli (E-coli).

Studi tersebut juga menunjukkan akses kualitas air minum aman sebesar 11,9%, dan 40,8% masyarakat yang menggunakan sarana air minum bersumber dari air tanah (selain sarana air minum perpipaan dan depot air minum).

Selain itu, sebanyak 14,8% rumah tangga di Indonesia menggunakan sumur gali untuk keperluan minum dengan tingkat risiko cemaran tinggi dan amat tinggi.

Mengingat air adalah komponen utama penyusun tubuh manusia, krisis air bersih dan layak minum seharusnya menjadi perhatian utama. Namun, menurut Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, capaian sanitasi aman di Indonesia masih sangat rendah, hanya mencapai 7% pada tahun 2020. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang mencapai 26% dan India yang mencapai 46%.

Dilansir dari pslh.ugm.ac.id, sulitnya akses terhadap air bersih di berbagai wilayah di Indonesia merupakan masalah yang serius. Bahkan di kawasan pinggiran Jakarta yang tidak dijangkau pipa perusahaan air, terdapat mafia air yang memanfaatkan situasi ini dengan mengeksploitasi warga miskin untuk mendapatkan akses air.

Para mafia air memotong pipa perusahaan air dan membuat saluran ke rumah warga dengan biaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikenakan di kawasan hunian resmi.

Kondisi air bersih di Indonesia memang masih belum memuaskan. Menurut data World Health Organization (WHO) pada tahun 2020, hanya 83% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses ke air minum aman, yang berarti sekitar 17% rumah tangga masih belum memiliki akses ke air minum bersih.

Data dari WaterAid juga menunjukkan hal serupa. Indonesia berada di peringkat 140 dari 193 negara dalam Indeks Ketersediaan dan Kualitas Air Minum 2022, dengan skor 52,5 dari 100, dengan 60,1% dari populasi memiliki akses ke air bersih dan layak.

Akses ke air bersih dan layak di Indonesia tetap menjadi tantangan besar. Pada tahun 2022, masih ada 35,3 juta orang di Indonesia yang tidak memiliki akses ke air bersih dan layak. Mayoritas orang yang tidak memiliki akses ke air bersih dan layak tinggal di daerah pedesaan.

Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan akses ke air bersih dan layak, termasuk membangun lebih banyak infrastruktur air dan sanitasi serta memberikan subsidi untuk akses air bersih dan layak bagi masyarakat miskin.

Ketersediaan infrastruktur masih menjadi tantangan dalam penyediaan air minum di Indonesia. Infrastruktur yang dimaksud mencakup perolehan air baku, produksi, distribusi, hingga pelayanan air. Karena keterbatasan infrastruktur yang memadai, masih ada daerah di Indonesia yang mendapat akses air minum dengan kualitas kurang baik, bahkan ada daerah yang belum terjangkau oleh layanan air minum.

Menurut Setiono dkk. (2021), sistem penyediaan air minum melalui jaringan perpipaan di Indonesia baru menjangkau sepertiga dari penduduk di area perkotaan. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan ketersediaan infrastruktur penyediaan air minum.

Sementara, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM, MARS mengatakan untuk menjamin semua masyarakat mempunyai akses terhadap air minum yang layak dan aman, pemerintah Indonesia menargetkan 100% akses air minum layak dan 15% akses air minum aman di Tahun 2020-2024.

Kondisi BUMD Air Minum di Indonesia

Dikutip dari kpbu.kemenkeu.go.id, penyediaan sistem air minum yang baik harus didukung oleh tata kelola dan manajemen BUMD air minum, khususnya PDAM. Indonesia memiliki 389 BUMD pengelola air minum yang kinerjanya dinilai setiap tahun.

Berdasarkan Keputusan Kepala BPPSPAM Nomor 002/KPTS/K-G/IV/2010 tentang Penilaian Kinerja Pelayanan Penyelenggaraan Pengembangan SPAM pada PDAM, terdapat 18 indikator penilaian kinerja yang terbagi dalam 4 aspek utama, yaitu aspek keuangan, pelayanan, operasional, dan sumber daya manusia (SDM).

Penilaian kinerja PDAM dari perspektif tingkat kehilangan air (non-revenue water) menunjukkan 33,27% air hilang dalam jaringan perpipaan SPAM. Angka ini setara dengan 1,7 miliar m3 air atau sekitar Rp9,6 triliun per tahun dalam pendapatan yang hilang akibat NRW. Kebocoran pipa ini juga menimbulkan risiko kontaminasi mikrobiologis pada air minum, yang mempengaruhi penilaian kualitas air minum.

Hasil kinerja PDAM juga menunjukkan fakta mengejutkan dalam cakupan pelayanan. Sebanyak 33% PDAM yang dikategorikan sehat memiliki cakupan pelayanan rendah, di bawah 20%. Selain itu, 44% PDAM yang dikategorikan kurang sehat juga memiliki cakupan pelayanan di bawah 20%.

Ini menunjukkan pengelolaan PDAM dalam aspek kinerja lainnya masih belum optimal dan membutuhkan perbaikan untuk memperluas cakupan layanan.