Sebagian besar saluran air di wilayah Jabodetabek dan sekitarnya tercemar. (AP/Achmad Ibrahim)
Nasional

WWF 2024: Ketersediaan Air Minum Layak di Indonesia Belum Merata

  • Warga Cilincing membeli air bersih dari tetangga, untuk mengisi air selama satu jam, harus mengeluarkan biaya sekitar US$1,85 dan hanya bertahan selama tiga hari
Nasional
Distika Safara Setianda

Distika Safara Setianda

Author

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah membuka Forum Air Sedunia (World Water Forum/WWF) Ke-10 yang diselenggarakan di Bali International Convention Center (BICC), Kabupaten Badung, Provinsi Bali, pada Senin, 20 Mei 2024.

Dilansir dari setkab.go.id, Presiden Jokowi menekankan pentingnya komitmen bersama dalam pengelolaan air yang inklusif dan berkelanjutan. Ia juga mengungkapkan, 72% permukaan bumi tertutup air dan hanya 1% yang bisa diakses dan digunakan sebagai air minum dan keperluan sanitasi. Kekhawatiran ini akan berdampak pada pertanian.

“Di tahun 2050, 500 juta petani kecil sebagai penyumbang 80% pangan dunia diprediksi paling rentan mengalami kekeringan. Tanpa air tidak ada makanan, tidak ada perdamaian, tidak ada kehidupan. No water no life, no growth.” ujarnya, dikutip Selasa 21 Mei 2024.

“Air adalah sumber kehidupan, air juga merupakan simbol keseimbangan dan keharmonisan. Namun, jika tidak dikelola dengan baik, air juga dapat menjadi sumber bencana,” terang Jokowi.

Di sisi lain, peningkatan ketersediaan air minum yang layak dan aman sangat penting untuk mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sayangnya, tidak semua tempat memiliki akses terhadap air minum. Jika masalah ini tidak segera diselesaikan, akan ada krisis air minum di masa depan.

Sebelumnya, pemerintah menargetkan ketersediaan air minum layak 100% pada tahun 2024, sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024. Dalam RPJMN tersebut, pemerintah merencanakan proyek besar dengan tujuan memasang 10 juta sambungan rumah (SR) guna mencapai target tersebut.

Ketersediaan Air Minum Layak Belum Merata

Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023 yang dipublikasikan BPS, akses terhadap air minum layak mencapai 91,72%. Artinya, hanya 9 dari 10 rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap air minum yang layak.

Ilustrasi Air Bersih (Freepik)

Kriteria air minum layak mencakup sumber utama air dari air leding, sumur bor atau sumur pompa, sumur terlindung/tak terlindung, mata air terlindung/tak terlindung, serta air hujan. Selain itu, termasuk dalam kategori air minum layak adalah air kemasan bermerk atau air isi ulang.

Sementara, persentase air minum layak terendah ada di Papua, yaitu 66,49%. Diikuti Bengkulu 73,08%, serta Kalimantan Selatan 76,29% dan Kalimantan Tengah 77,72%.

Jumlah Pelanggan Perusahaan Air Bersih

Salah satu cara untuk mengakses air minum layak adalah dengan memastikan ketersediaan air bersih yang memadai. Di Indonesia, ini dapat dilakukan melalui perusahaan air yang menyediakan distribusi air bersih kepada rumah tangga dan korporasi.

Berdasarkan laporan BPS terkait Statistik Air Bersih (2023), jumlah pelanggan perusahaan air bersih di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Laporan tersebut menggambarkan situasi pelanggan air pada 2022.

Pada 2022, konsumen air bersih mencapai sekitar 16.341.830 orang. Dalam empat tahun terakhir, jumlah pelanggan air bersih telah meningkat sebanyak sekitar 2.213.351 orang.

Wilayah Jawa Timur memiliki jumlah pelanggan air bersih terbanyak, yaitu 2.422.452 orang, diikuti Jawa Barat dengan jumlah 2.034.772 orang, dan Jawa Tengah dengan 1.941.552 orang. DKI Jakarta menempati urutan keempat dengan total pelanggan sebanyak 969.512 orang.

Jumlah pelanggan air bersih tersebut merujuk perorangan, melainkan pada jenis kelompok, seperti kelompok sosial, niaga, non-niaga. Sementara, pada tahun 2022, volume air bersih yang disalurkan oleh perusahaan air mencapai 4,50 miliar meter kubik.

Penggunaan Air Tanah di Kota Besar

Peningkatan jumlah penduduk dan aktivitas industri yang semakin meningkat menyebabkan lonjakan dalam pengambilan air tanah. Menurut data Kementerian PUPR, penggunaan air tanah di DKI Jakarta telah meningkat dari 31 juta meter kubik menjadi 33,8 juta meter kubik. Di Cekungan Bandung, penggunaan air tanah juga mengalami peningkatan dari 46,8 juta meter kubik menjadi 61 juta meter kubik.

Eksploitasi berlebihan terhadap air tanah memiliki dampak yang serius. Selain menyebabkan penurunan muka tanah saat air pasang, hal ini juga meningkatkan risiko rembesan air laut (abrasi) di sekitar kawasan pantai, seperti yang terjadi di Kota Jakarta.

Membangun Pipa Air Bersih

Dilansir dari CNA, Jakarta saat ini memiliki sekitar 65% akses terhadap air bersih, dan pihak berwenang telah menetapkan target ambisius sebesar 100% pada tahun 2030. Selain itu, pemerintah juga mempercepat pembangunan pipa air bersih. 

Plt Sekretaris Dinas Sumber Daya Air Jakarta Hendri mengatakan, “Saat ini sedang dilakukan pekerjaan pembangunan pipa di (Daerah Khusus Jakarta) sehingga nantinya seluruh wilayah yang belum terlayani air perpipaan akan terlayani, sehingga masyarakat bisa mendapatkan air bersih melalui pipa-pipa itu.”

Tujuannya, sistem perpipaan menghalangi masyarakat untuk memompa air sumur sehingga meningkatkan risiko penurunan tanah, terutama di wilayah tertentu seperti Jakarta Utara.

Petugas Bidang Air Baku, Air Bersih, dan Air Limbah Dinas Sumber Daya Air Provinsi DKI Jakarta saat memeriksa Instalasi Pengelolaan Air Limbah di IPAL Jagakarsa, Jakarta, Kamis, 19 November 2020. Foto: Ismail Pohan/TrenAsia

Mendapatkan air bersih untuk mandi setelah seharian bekerja tidaklah mudah. 

Warga Cilincing, Yulia Mayau, yang membeli air bersih dari tetangga, untuk mengisi air selama satu jam, harus mengeluarkan biaya sekitar US$1,85 dan hanya bertahan selama tiga hari.  Setelah itu, dia harus menunggu gilirannya untuk mengisi persediaannya sekali lagi.

“Itu mahal. Ini adalah biaya yang sangat besar,” ujarnya, dikutip dari CNA, pada Selasa, 21 Mei 2024.

“Kalau mau pasang pompa, mau pasang jaringan, pihak penyedia layanan air bilang butuh minimal 10 rumah yang mau pasang. Di daerah yang mengarah ke laut sering terjadi kemacetan dan kegagalan pompa.”

Penduduk setempat yang menjual air mengatakan, mereka tidak diizinkan secara hukum untuk melakukan hal tersebut, dan bahwa pompa di rumah mereka hanya untuk konsumsi pribadi.

Seorang penduduk yang tertangkap menjual air setelah inspeksi mendadak oleh pihak berwenang mengatakan dia didenda sebesar US$300.

Mereka yang tinggal dalam jarak 80 meter dari pantai memiliki akses ke tangki penyimpanan air berkapasitas 2.000 liter di sekitarnya, tetapi kebocoran pada tangki menyebabkan air habis lebih cepat dari yang diperkirakan.

Pemberdayaan Masyarakat Pesisir

Kondisi warga ini menarik perhatian LSM lokal ESQ Kemanusiaan, yang awal tahun ini mendapatkan sponsor untuk membangun tangki air yang lebih besar. Tangki air bersih berkapasitas 5.000 liter ini dapat digunakan oleh maksimal delapan rumah di area tersebut.

Namun, air dalam tangki tersebut habis hanya dalam satu hari. Setiap pengisian ulang untuk 5.000 liter memerlukan biaya sekitar US$35, dan tangki-tangki tersebut hanya bisa diisi ulang jika difasilitasi oleh LSM yang bergantung pada donor.

Manajer umum LSM, Anjani Devi, mengatakan, “Apa yang sebenarnya kami inginkan adalah memberikan sumber pendapatan lain bagi masyarakat dan perempuan di sini, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mengumpulkan atau mengelola air bersih mereka sendiri, sehingga mereka menjadi mandiri, dan tidak hanya menunggu bantuan atau dari donatur kita. Kami ingin hal seperti itu terjadi di masa depan.”

Para analis mengatakan pihak berwenang perlu berbuat lebih banyak jika mereka ingin memperbaiki situasi air di Jakarta. 

Kota ini dapat mempertimbangkan untuk berkolaborasi dengan negara-negara maju, terutama dalam transfer teknologi. Jika dioptimalkan, Jakarta memiliki sumber daya air melimpah yang perlu dikelola dengan baik.