
Zaman Soeharto, Program Cetak Sawah Jutaan Hektare di Lahan Gambut Sia-sia
Presiden Soeharto pernah membuat program pencetakan 1 juta hektare sawah baru di lahan gambut Kalimantan Tengah, tetapi tidak berhasil.
Nasional & Dunia
Presiden Soeharto pernah membuat program pencetakan 1 juta hektare sawah baru di lahan gambut Kalimantan Tengah, tetapi tidak berhasil.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai program cetak sawah dinilai tidak efektif untuk mendukung ketahanan pangan selama pandemi COVID-19. Sebab, Indonesia masih kekurangan pasokan komoditas pangan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Untuk mengatasi krisis pangan selama pandemi COVID-19 ini, pemerintah seharusnya memperkuat produksi pangan yang sudah ada dengan memberi fasilitas bagi petani seperti teknologi, sarana prasarana, dan kemudahan kredit usaha,” kata di Jakarta, Selasa, 5 Mei 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Selain itu, dia menilai pemerintah perlu memaksimalkan stok pangan melalui penyerapan produksi domestik sebanyak mungkin dan impor pangan. Pemerintah juga perlu memastikan kelancaran distribusi dan logistik pangan sehubungan dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah.
Felippa menambahkan, pembukaan lahan sawah baru, apalagi di lahan gambut, akan memakan waktu yang lama, mulai dari mengolah lahan hingga proses pertanian. Pengolahan lahan menjadi sawah membutuhkan waktu yang tidak sebentar dan hal tersebut sangat tergantung pada jenis dan karakteristik lahannya.
“Proyek mencetak lahan sawah baru tidak tepat untuk mengatasi krisis pangan saat ini. Jika dilakukan secara tergesa-gesa, proyek pencetakan lahan sawah baru yang memakan modal besar ini malah menimbulkan risiko gagal panen yang merugikan petani dan risiko kerusakan lingkungan yang lebih besar,” ujarnya.
Dia menyebut, pengalaman proyek pengembangan lahan gambut 1 juta hektare di Kalimantan Tengah yang terjadi pada pemerintahan Presiden Soeharto menunjukkan bahwa lahan gambut tidak cocok untuk penanaman padi.
“Saat itu yang terjadi malah gagal panen dan kerugian besar. Lahan gambut lebih cocok untuk komoditas hortikultura, seperti nanas,” katanya.
Dalam ketahanan pangan, lanjut Felippa, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan lahan pertanian. Hal ini dikarenakan semakin berkurangnya jumlah petani dan semakin berkurangnya lahan pertanian.
“Kalau pemerintah ingin mencapai ketahanan pangan, maka pemerintah harus terus mendorong produktivitas produksi dalam negeri dan memaksimalkan penyerapannya. Perdagangan internasional juga dapat dijadikan pilihan untuk memastikan ketersediaan komoditas pangan di pasar,” ungkap dia. (SKO)