33 Persen Perusahaan Asuransi Belum Bisa Penuhi Modal Minimum, M&A akan Jadi Tren di Industri
- Dalam Peraturan OJK Nomor 23/2023, OJK menetapkan persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi yang sudah berdiri. Perusahaan yang tidak mampu memenuhi persyaratan ini memiliki opsi untuk menjadi anak perusahaan dalam skema Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA) dari perusahaan yang lebih kuat.
IKNB
JAKARTA – Menurut estimasi Algo Research, pada tahun 2023, sekitar 33% dari total perusahaan asuransi di Indonesia (tidak termasuk unit usaha syariah - UUS) memiliki modal di bawah Rp250 miliar.
Dengan demikian, perusahaan-perusahaan ini kemungkinan besar tidak akan mampu memenuhi persyaratan modal baru yang harus dipenuhi pada tahun 2026. Akibatnya, mereka diperkirakan akan melakukan merger dan akuisisi (M&A).
Pertumbuhan Premi Lesu dan Penurunan Penetrasi Pasar
Berdasarkan hasil riset Algo Research, selama lima tahun terakhir, pertumbuhan premi asuransi di Indonesia terbilang lesu, sementara penetrasi pasar terus mengalami penurunan.
Kombinasi ini semakin diperparah dengan meningkatnya klaim akibat menurunnya kualitas aset yang dimiliki oleh perusahaan asuransi. Hal ini menjadi indikator kuat bahwa industri asuransi di Indonesia tengah berada dalam masa sulit.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengambil langkah untuk mengatasi permasalahan ini dengan menerapkan persyaratan modal minimum bagi perusahaan asuransi yang ada.
Tujuan utama dari kebijakan ini adalah mendorong perusahaan-perusahaan kecil untuk melakukan konsolidasi atau dijual kepada perusahaan yang lebih besar, guna menciptakan efisiensi dan skala yang lebih baik.
- Kerap Jadi Alasan Pejabat Mundur, Ini Makna Malu Bagi Orang Jepang
- Hanya Dua Bulan, Ini Fokus Bahlil Usai Jadi Menteri ESDM
- Target Saham Astra (AUTO) Direvisi Naik Meski Pendapatan Semester I-2024 Turun
Kebijakan Baru OJK: Persyaratan Modal Minimum
Dalam Peraturan OJK Nomor 23/2023, OJK menetapkan persyaratan modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi yang sudah berdiri. Perusahaan yang tidak mampu memenuhi persyaratan ini memiliki opsi untuk menjadi anak perusahaan dalam skema Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA) dari perusahaan yang lebih kuat.
Perbedaan antara perusahaan yang memenuhi Kategori Produk dan Pemasaran Eksklusif 1 (KPPE 1) dan Kategori Produk dan Pemasaran Eksklusif 2 (KPPE 2) terletak pada ketersediaan produk yang dapat ditawarkan. Perusahaan yang masuk dalam KPPE 1 hanya dapat menjual produk dasar, sementara KPPE 2 diperbolehkan menawarkan produk yang lebih beragam.
Selain itu, OJK juga mengatur bahwa perusahaan asuransi yang baru didirikan harus memiliki persyaratan modal disetor yang lebih tinggi, mirip dengan KPPE 2.
Langkah OJK ini diyakini Algo Research sebagai langkah yang tepat karena lebih baik jika perusahaan besar saling bersaing daripada perusahaan kecil mengambil pangsa pasar yang lebih besar. Selain itu, keberadaan sedikit pemain besar juga akan memudahkan pengawasan dan regulasi.
Tren Industri Asuransi yang Terus Menurun
Saat ini, terdapat 148 perusahaan asuransi di Indonesia, terdiri dari 58 asuransi jiwa, 78 asuransi umum, 8 reasuransi, dan 4 asuransi sosial atau non-komersial seperti BPJS.
Namun, tren industri menunjukkan bahwa penetrasi asuransi di Indonesia terus menurun, dari 3,03% pada tahun 2019 menjadi 2,64% pada tahun 2023.
Pada awalnya, industri asuransi mengalami percepatan dengan pertumbuhan premi bruto rata-rata lebih dari 20% pada tahun 2014-2016.
Namun, kasus korupsi dan praktik tata kelola yang buruk di beberapa perusahaan asuransi BUMN besar seperti Jiwasraya dan ASABRI pada tahun 2016-2019 menyebabkan penurunan signifikan dalam premi asuransi.
Kasus korupsi ini terkait dengan investasi buruk yang menyebabkan kerugian finansial lebih dari Rp15 triliun bagi nasabah sehingga menimbulkan ketidakpercayaan terhadap industri ini, terutama terhadap produk unit link.
Industri ini kembali terdampak pada tahun 2020, namun pulih dengan cepat pada tahun 2021 akibat adanya permintaan tertunda dan meningkatnya kesadaran untuk membeli asuransi kesehatan akibat pandemi.
Sayangnya, optimisme berlebihan pada tahun 2021 yang mencatat pertumbuhan premi bruto sebesar 16%, menyebabkan moral hazard di mana perusahaan asuransi menurunkan standar mereka untuk melayani profil nasabah yang lebih berisiko demi mencapai target pendapatan.
Akibatnya, industri kembali mengalami perlambatan pada tahun 2022-2023 akibat meningkatnya klaim nasabah, terutama karena melemahnya prospek ekonomi Indonesia.
- Menakar Kontribusi Cukai Terbesar dari Tiga Emiten Produsen Rokok
- Moncer di Paruh Pertama, Saham dan Laba ELSA Direvisi Naik
- Link Live Streaming Real Madrid Vs Atalanta di Piala Super Eropa 2024
Penetrasi Asuransi Indonesia Masih Rendah di ASEAN
Jika kita mengecualikan asuransi sosial atau wajib di seluruh papan, Indonesia memiliki tingkat penetrasi asuransi yang paling rendah di ASEAN.
Menurut laporan ASEAN Insurance Council, pada tahun 2022 Indonesia menempati peringkat ke-6 dengan tingkat penetrasi sebesar 1,4%. Sementara itu, negara tetangga seperti Singapura (10,5%), Thailand (5%), dan Vietnam (2,5%) berada di peringkat teratas.
Meski demikian, Algo Research menilai bahwa masih banyak potensi pertumbuhan jangka panjang bagi industri asuransi di Indonesia. Namun, untuk membuka nilai ini, M&A atau konsolidasi diperlukan agar perusahaan dapat tumbuh secara efisien dan berskala.
Target M&A dan Aksi Korporasi yang Potensial
Untuk mengantisipasi konsolidasi dan regulasi baru dari OJK, beberapa perusahaan asuransi terkemuka telah memulai aksi korporasi yang signifikan.
Baru-baru ini, IFG Life membeli saham mayoritas Mandiri Inhealth dengan total kepemilikan sebesar 80%, sementara 20% sisanya dimiliki oleh Bank Mandiri. Sebelum akuisisi ini, Mandiri Inhealth dimiliki oleh Bank Mandiri (80%), Kimia Farma (10%), dan IFG (10%).
Akuisisi ini cukup substansial karena menurut Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Mandiri Inhealth memiliki pangsa pasar sebesar 35% di segmen asuransi kesehatan kelompok per 1Q24 dengan sekitar 1,8 juta nasabah.
Selain itu, beberapa perusahaan asuransi lainnya sedang merencanakan spin-off unit usaha syariah (UUS) mereka. Misalnya, TUGU berencana melakukan spin-off syariah tahun ini karena unit usaha tersebut mengalami percepatan pertumbuhan premi yang signifikan. Begitu pula, BNI Life diperkirakan akan melakukan spin-off pada tahun 2024 atau 2025.