Ambisi Jokowi Lewat LPI (Serial 4): Dompet Negara Tekor, Awas SWF Malah Bocor
Sovereign Wealth Fund (SWF), nama lain lembaga tersebut merupakan salah satu terobosan pemerintah dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang belum lama ini disahkan.
Industri
JAKARTA – Pemerintah berencana membentuk Lembaga Pengelola Investasi (LPI). Lembaga raksasa ini digadang-gadang bakal mengalahkan Temasek Singapura dan Khazanah Malaysia.
Rencananya, lembaga ini akan diawasi langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir.
Sovereign Wealth Fund (SWF), nama lain lembaga tersebut merupakan salah satu terobosan pemerintah dalam Undang-Undang Cipta Kerja yang belum lama ini disahkan.
Adapun pembuatan lembaga baru ini didasarkan oleh kebutuhan negara atas pendanaan infrastruktur. Pemerintah mengaku kesulitan mendanai infrastruktur dalam negeri. Di sisi lain, negara juga tidak memiliki banyak pilihan instrumen pendanaan infrastruktur.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- Tandingi Telkomsel dan Indosat, Smartfren Segera Luncurkan Jaringan 5G
- Bangga! 4,8 Ton Produk Tempe Olahan UKM Indonesia Dinikmati Masyarakat Jepang
Seperti yang telah diketahui bahwa Indonesia tidak memiliki bank yang khusus mendanai pembangun, terutama infrastruktur. Sedangkan bank komersial nasional yang ada saat ini bekerja dengan menghimpun dana masyarakat dan menempatkannya pada instrumen investasi jangka pendek. Sehingga tak cocok untuk pembangunan infrastruktur.
Selain itu, pasar modal Indonesia juga dianggap tidak mampu mencukupi kebutuhan dana pembangunan yang semakin meningkat. Meskipun telah ada instrumen baru seperti reksa dana, namun jumlahnya tak sebanding dengan kebutuhan belanja modal pembangunan infrastruktur.
Jika hanya mengandalkan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka dipastikan keuangan negara akan tergerus. Sementara badan usaha milik negara (BUMN) memiliki modal yang terbatas. Atas dasar itu, SWF dibentuk demi memenuhi ambisi Presiden Joko Widodo dalam membangun infrastruktur.
Lembaga Super Body
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati menilai SWF Indonesia akan menjadi lembaga super body. Dengan kata lain, lembaga satu ini akan memiliki kewenangan besar yang nyaris tak terawasi.
Benar saja, alih-alih diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), lembaga negara yang akan menghimpun dana investasi ribuan triliun rupiah itu justru akan diawasi oleh auditor eksternal yang belum jelas kapasitasnya.
Enny pun menduga, nantinya banyak potensi penyelewengan yang terjadi pada lembaga satu ini atau terjadi suatu moral hazard. Apalagi jika sumber-sumber dana yang didapatkan terdapat semacam prasyarat yang mengikat secara implisit.
“Kalau SWF diberikan keleluasaan bisa menerima dana dari manapun, bisa jadi ada permintaan dan syarat yang diberikan oleh investor. Misalnya ada permintaan untuk meratifikasi dan lain-lain,” ujarnya saat berbincang dengan jurnalis TrenAsia.com beberapa waktu lalu.
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- Cegah Ledakan Kasus COVID-19, Pemerintah Geser dan Hapus Hari Libur Nasional Ini
- Penyaluran KPR FLPP: BTN Terbesar, Tiga Bank Daerah Terbaik
Hal tersebut tentu mengingatkan kita pada beberapa perjanjian kerja sama antara pemerintah Indonesia dengan beberapa perusahaan atau investor asing dalam menjalankan suatu proyek di dalam negeri.
Sebagai contoh, beberapa kontrak karya perusahaan tambang asing dengan pemerintah yang disinyalir syarat akan kepentingan. Dugaan kuat adanya “pasal titipan” yang ditemui dalam UU Mineral dan Batu bara (Minerba) yang menjadi salah satu bukti praktik haram kerap terjadi dengan dalih investasi.
Contoh lain yang paling ramai diperbincangkan publik adalah soal investasi China di Indonesia dalam membangun proyek infrastuktur. Meskipun bunga pinjaman yang ditawarkan cukup rendah, tetapi dalam pelaksanaannya, pengadaan hingga tenaga kerja diboyong dari Negeri Tirai Bambu.
Padahal sudah menjadi rahasia umum bahwa rencana tersebut merupakan bagian dari program jalur sutra modern yang disebut One Belt One Road (OBOR). Megaproyek yang diinisiasi Presiden China Xi Jinping ini bertujuan untuk membuka keran konektivitas dagang Tiongkok dengan negara-negara di Asia, Afrika, hingga Eropa.
“Tapi pemerintah kita enggak bisa ngapa-ngapain, karena hal itu bagian dari insentif atas investasi yang diberikan,” ucapnya.
Kedaulatan Ekonomi Berpotensi Tergadai
Dengan kondisi itu, Enny khawatir, kehadiran SWF justru bakal semakin membahayakan perekonomian Indonesia. Bahkan, kedaulatan ekonomi nasional berpotensi tergadai.
Dia menduga, terjadinya kesepakatan “bawah tangan” seperti kasus di atas diperkirakan akan terjadi lagi. Tentunya, sambung Enny, hal itu turut mengorbankan kepentingan nasional ke depannya.
“Jadi kalau kita telah tersandera oleh berbagai macam prasyarat dan sebagainya, kita enggak akan bebas, terutama dalam menentukan kebijakan-kebijakan ekonomi,” lanjutnya.
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Nvidia Tanam Uang Rp1,4 Triliun Demi Bangun Superkomputer
- Facebook Lakukan Pengujian, Oculus VR Bakal Tak Lagi Bebas Iklan
Selain itu, SWF juga dapat memperparah kondisi beban fiskal Indonesia yang saat ini tengah terseok-seok. Pemerintah terbukti tidak mampu menyerap anggaran belanja dengan optimal, padahal defisit APBN 2020 sudah diperlebar hingga 6,34%.
“Apalagi jika nanti sumber pendanaan SWF masih penuh dengan risiko, kental dengan unsur politis dan sebagainya,” kata Enny.
Jika kesehatan fiskal nasional terus bermasalah, ia memastikan Indonesia akan kembali masuk dalam daftar lima negara dengan perekonomian paling rapuh. Dan dipastikan hal tersebut akan membawa fluktuasi di sektor-sektor moneter.
“Kalau sudah begitu, justru berbahaya dan memberikan kontraproduktif terhadap investasi yang akan masuk. Investor menjadi ragu lagi berinvetasi di Indonesia,” imbuhnya.
Infrastruktur Tak Dorong Investasi
Pembuatan LPI ini khusus dibentuk untuk pembiayaan proyek infrastruktur yang merupakan ambisi Presiden Jokowi. Motif pembentukan lembaga ini juga menjadi salah satu kritikan Enny.
Pasalnya semua negara saat ini sedang berfokus pada pengendalian COVID-19. Sehingga, tidak ada satu negara pun yang memikirkan ekonomi dalam jangka panjang.
Selain itu, ia menyebut bahwa tatanan ekonomi global akan mengalami perubahan yang sangat fundamental pascapandemi nanti. Lantas, wajah ekonomi dunia ke depan belum dapat dipastikan dalam waktu dekat ini.
“Nah, Indonesia malah sok bikin program strategis nasional segala macam, tetapi pemulihan daya beli masyarakat tidak diurus,” kritik Enny.
Menurutnya, jika memang SWF akan diwujudkan, alangkah baiknya jika pendanaan tersebut difokuskan pada penciptaan lapangan kerja serta stabilisasi harga kebutuhan pokok. Bagi Enny, hal tersebut jauh lebih efektif guna memastikan Indonesia berada di jalur tepat dalam hal pemulihan ekonomi nasional.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
Oleh karena itu, dia menganggap, perlu adanya penyesuaian dalam rencana strategis nasional, terutama di bidang infrastruktur. Perubahan fokus perlu dilakukan dalam rencana-rencana teknis di masa pandemi sekarang ini.
“Jadi strategis di masa sekarang bisa jadi memang bentuknya infrastruktur, tapi bukan infrastruktur dalam rencana strategis nasional karena itu disusun sebelum ada pandemi,” jelas Enny.
Ia juga menegaskan bahwa proyek-proyek infrastruktur yang digagas Presiden Jokowi dalam lima tahun terakhir tak mampu meningkatkan investasi. Maka, sudah seharusnya hal itu menjadi evaluasi pemerintah sebelum membentuk SWF.
“Sampai saat ini tidak ada peningkatan investasi. Bagaimana dampak dari pembangunan jalan tol dan sebagainya pada penurunan logistic performance index kita. Tidak ada investor di sektor manufaktur yang tertarik,” paparnya.
Sebab itu, Enny menilai perlu adanya kajian lebih lanjut dalam pembentuk SWF ini untuk memastikan proyek infrastruktur yang akan didanai tepat sasaran. Dengan begitu, harapannya dapat meningkatkan akselerasi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. (SKO)
Artikel ini merupakan sambungan dari serial sebelumnya: