Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Apakah Platform Fintech P2P Lending Bertanggung Jawab Atas Kasus Gagal Bayar? Simak Penjelasannya

  • Jika lender telah menyetujui dan menandatangani dokumen yang menyatakan risiko, maka penyelenggara tidak dapat dituntut atas wanprestasi karena mereka hanya berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang menanggung risiko.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Dalam persidangan kasus wanprestasi (gagal bayar) yang melibatkan fintech peer-to-peer (P2P) lending Tanifund di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa, 13 Agustus 2024, Hendrikus Passagi, mantan Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memberikan kesaksiannya sebagai saksi ahli.  Hendrikus memberikan penjelasan rinci terkait peran dan tanggung jawab fintech P2P lending serta batasan-batasan hukum yang mengatur operasional mereka.

Peran Fintech P2P Lending dan Tanggung Jawab Terhadap Wanprestasi atau Gagal Bayar

Menjawab pertanyaan mengenai peran fintech P2P lending dan apakah mereka bertanggung jawab atas kasus gagal bayar atau wanprestasi kepada para lender atau pemberi dana, Hendrikus mengacu pada POJK 22 tahun 2023. 

Dia menjelaskan bahwa fintech P2P lending berperan sebagai fasilitator, yang berarti mereka hanya menyediakan fasilitas untuk mempertemukan pemberi dana (lender) dengan peminjam dana (borrower).

Menurut Hendrikus, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, memfasilitasi berarti memberikan kemudahan. Dalam konteks fintech P2P lending, kemudahan ini mencakup mitigasi risiko. 

Akan tetapi, mitigasi risiko ini harus dilakukan baik oleh penyelenggara fintech P2P lending, pemberi dana, maupun peminjam dana. 

Misalnya, pemberi dana memiliki opsi untuk memilih asuransi guna melindungi investasi mereka, namun penyelenggara fintech P2P lending tidak boleh memaksakan penggunaan asuransi tertentu karena hal tersebut bisa menimbulkan potensi moral hazard.

Lebih lanjut, Hendrikus menegaskan bahwa fintech P2P lending dilarang melakukan kegiatan apapun selain yang berhubungan langsung dengan layanan P2P lending

Selain itu, fintech P2P lending diwajibkan memiliki izin dari OJK dan memastikan bahwa situs web mereka memiliki disclaimer yang jelas menyatakan bahwa segala risiko dari transaksi ditanggung oleh pihak yang bertransaksi, termasuk lender

Apabila penyelenggara fintech P2P lending tidak mencantumkan disclaimer tersebut dalam penawaran mereka, artinya ada pelanggaran yang dilakukan dan OJK berhak untuk melakukan pencabutan izin usaha. 

Bukan Tanggung Jawab Penyelenggara Fintech P2P Lending dalam Kasus Gagal Bayar

Ketika ditanya tentang apakah penyelenggara fintech P2P lending bertanggung jawab jika ekspektasi lender tidak terpenuhi, Hendrikus menekankan pentingnya transparansi dan pengawasan market conduct

Dalam POJK 22 tahun 2023, penyelenggara fintech diwajibkan untuk transparan terhadap risiko yang mungkin terjadi dan menyampaikan informasi tersebut kepada publik. 

Jika lender telah menyetujui dan menandatangani dokumen yang menyatakan risiko, maka penyelenggara tidak dapat dituntut atas wanprestasi karena mereka hanya berfungsi sebagai fasilitator dan bukan sebagai pihak yang menanggung risiko.

“Ketika saya meminjamkan uang, itu ada kemungkinan orang itu (peminjam) tidak bayar kan, ini adalah wanprestasi. Ketika misalnya si A meminjamkan kepada si D sementara penyelenggara tidak boleh menyentuh urang orang itu, maka ketika uang tidak dikembalikan, penyelenggara tidak melakukan kejahatan wanprestasi karena  fintech peer to peer lending hanya mempertemukan, menagih, atau melakukan gugatan hukum,” kata Hendrikus.

Baca Juga: Fintech Lending Bisa Kasih Pinjaman Rp10 Miliar dengan Syarat Ini

Hendrikus juga menjelaskan bahwa dalam proses penyelenggaraan fintech P2P lending, terdapat tahapan-tahapan yang harus diikuti. 

Penyelenggara mengumpulkan data dari calon peminjam, kemudian menyusun prospektus yang disampaikan kepada calon pemberi dana. 

Lender yang tertarik dengan prospektus tersebut kemudian akan menandatangani dokumen digital sebagai bentuk persetujuan. Dalam hal ini, penyelenggara fintech hanya bertindak sebagai perantara dan tidak memiliki akses langsung terhadap dana lender.

Dengan kata lain, ketika terjadi kasus gagal bayar, maka yang harus jadi sorotan utama adalah peminjam dana sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas dana yang dialirkan kepadanya sebagai pinjaman. 

Lain lagi halnya jika ternyata dalam kasus gagal bayar itu ditemukan adanya oknum dalam perusahaan penyelenggara yang misalnya melakukan penyelewengan dana, maka dalam hal ini oknum tersebut bisa digugat oleh perusahaan penyelenggara. 

Hendrikus pun menegaskan bahwa ketika terjadi kasus gagal bayar atau wanprestasi yang disebabkan oleh peminjam dana, maka penyelenggara berhak mendapatkan perlindungan sesuai dengan POJK 22 Tahun 2023. 

“POJK 22 tahun 2023 melindungi penyelenggara yang berhak mendapatkan perlindungan atas kegagalan bayar,” tegas Hendrikus. 

Regulasi dan Pengawasan OJK terhadap Fintech P2P Lending

Terkait pengaturan perjanjian antara lender, borrower, dan penyelenggara fintech, Hendrikus menyatakan bahwa POJK 77 dan POJK 22 mengatur adanya minimal dua perjanjian: antara pemberi dana dan penyelenggara, serta antara pemberi dana dan peminjam dana. 

Di dalam perjanjian ini biasanya sudah termasuk kuasa yang diberikan oleh lender kepada penyelenggara untuk melakukan penagihan atau upaya hukum jika terjadi keterlambatan pembayaran.

Selain itu, Hendrikus menegaskan bahwa penyelenggara fintech P2P lending tidak diperbolehkan menyentuh aliran dana dari lender

Jika ditemukan bahwa penyelenggara fintech menyentuh dana tersebut, maka OJK berhak mencabut izin operasional mereka.

Edukasi Publik tentang Model Bisnis Fintech P2P Lending

Pada akhir kesaksiannya, Hendrikus menyoroti pentingnya edukasi publik tentang model bisnis fintech P2P lending. Ia menyatakan bahwa banyak orang yang masih salah paham tentang peran fintech P2P lending, terutama dalam hal tanggung jawab terhadap dana yang dipinjamkan. 

Ia menegaskan bahwa fintech P2P lending adalah model bisnis yang berbasis pinjaman antarpihak, di mana penyelenggara hanya berfungsi sebagai fasilitator dan tidak memiliki kepentingan langsung terhadap dana yang dipinjamkan.

Kesaksian Hendrikus ini menekankan pentingnya pemahaman yang jelas tentang peran dan tanggung jawab fintech P2P lending dalam ekosistem keuangan digital. 

Edukasi yang lebih luas dan lebih mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa semua pihak yang terlibat memahami risiko dan tanggung jawab masing-masing dalam transaksi P2P lending.