Bukalapak Tutup Lapak, Begini Nasib Unicorn Indonesia yang Ditekan Tech Winter
- Bukalapak, salah satu unicorn pertama di Indonesia, menjadi startup Indonesia yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan raupan dana proceed IPO terbesar sepanjang sejarah bursa RI, yakni mencapai Rp21,90 triliun.
Tekno
JAKARTA - Industri teknologi di Indonesia pernah menjadi primadona dengan munculnya berbagai unicorn, perusahaan rintisan dengan valuasi lebih dari US$1 miliar.
Perusahaan-perusahaan ini sempat melambungkan harapan anak muda yang ingin meniti karier di industri teknologi. Namun, gelombang "tech winter" pascapandemi COVID-19 memukul performa banyak unicorn, memaksa mereka untuk melakukan restrukturisasi dan mengubah model bisnis.
Berikut adalah gambaran nasib beberapa unicorn Indonesia di tengah tekanan tersebut.
Bukalapak: Dari IPO Gemilang Menuju Fokus Produk Virtual
Bukalapak, salah satu unicorn pertama di Indonesia, menjadi startup Indonesia yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan raupan dana proceed IPO terbesar sepanjang sejarah bursa RI, yakni mencapai Rp21,90 triliun.
Dengan nilai IPO tersebut, banyak pihak optimis terhadap masa depan Bukalapak. Namun, realita yang dihadapi tidak seindah ekspektasi awal.
Saham Bukalapak (kode saham: BUKA) terus tertekan setelah IPO, kehilangan lebih dari 88% nilainya dari harga awal Rp1.000 per lembar menjadi sekitar Rp120-an per akhir 2024.
- 7 Tips Menghadapi Kenaikan PPN bagi Anak Kos Gen Z
- Indonesia Masuk? Inilah 10 Negara Terbaik untuk Masa Pensiun
- Dari Wonyoung IVE, Ini Rekomendasi Parfum yang Dipakai Idol K-Pop
Perusahaan kemudian memutuskan untuk mengalihkan fokusnya dari marketplace umum ke penjualan produk virtual seperti pulsa, paket data, listrik, dan layanan finansial mikro.
Perubahan ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Bukalapak untuk bersaing dengan pemain besar seperti Tokopedia dan Shopee dalam segmen e-commerce tradisional.
Tokopedia: Merger Besar, Tantangan Lebih Besar
Tokopedia, yang pada 2021 bergabung dengan Gojek membentuk GoTo Group, juga mengalami tekanan besar. Meski merger tersebut menciptakan ekosistem super-app yang kuat, GoTo mencatatkan kerugian signifikan selama beberapa tahun berturut-turut.
Hingga kuartal ketiga 2024, GoTo masih mencatat kerugian sebesar Rp4,31 triliun, sementara pendapatan bersih grup tumbuh sebesar 11% menjadi Rp11,6 triliun. Saham GoTo juga turun tajam sebesar 78% dari harga IPO Rp376 menjadi sekitar Rp80-an per lembar pada awal tahun 2025.
Sebagai salah satu pilar GoTo, Tokopedia menghadapi tantangan dari segi margin keuntungan yang tipis di bisnis e-commerce dan persaingan dari Shopee yang agresif memberikan subsidi.
Tekanan ini memaksa perusahaan untuk fokus pada efisiensi operasional dan mencari model bisnis yang lebih berkelanjutan.
Traveloka: Terpukul oleh Pandemi, Berjuang Kembali
Traveloka, unicorn yang berfokus pada industri perjalanan dan pariwisata, menjadi salah satu yang paling terpukul oleh pandemi COVID-19.
Bahkan, Co-founder Traveloka Ferry Unardi sempat mengatakan bahwa bisnis Traveloka berada di titik terendah yang belum pernah terjadi secjak perusahaan berdiri.
Traveloka pun sempat terpaksa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal pada tahun 2020, yang mana menurut Nikkei Asian Review, PHK massal tersebut berdampak kepada 100 karyawan.
Perusahaan mencatatkan penurunan valuasi dari sekitar US$4,5 miliar sebelum pandemi menjadi US$2,75 miliar pada tahun 2020. Untuk bertahan, Traveloka memperluas layanan ke sektor keuangan seperti paylater dan asuransi.
Ruangguru: Penyesuaian di Tengah Penurunan Permintaan
Ruangguru, unicorn di bidang edtech, sempat mengalami lonjakan permintaan selama pandemi karena pembelajaran online menjadi kebutuhan utama.
Namun, pascapandemi, permintaan untuk layanan edtech menurun signifikan seiring dengan kembalinya sekolah tatap muka.
Perusahaan harus memangkas biaya operasional dan mengalihkan fokus ke pasar korporasi dan pelatihan profesional.
Perusahaan ini menghadapi tantangan berat yang memaksanya melakukan langkah drastis untuk bertahan.
Salah satu keputusan sulit yang diambil adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 200 karyawan pada tahun 2022.
- LK21 dan Layarkaca21 Ilegal, Ini 7 Alternatif Nonton Film dan Drama Legal
- Reli Saham GOTO Berlanjut, Transaksi Capai 67 Juta Lot, Simak Prediksi Pekan Ini
- Rekomendasi Saham Bank 2025: BBCA, BMRI, dan BRIS Masih Overweight
Keputusan ini, menurut pendiri Ruangguru, Belva Devara, merupakan langkah terakhir setelah berbagai upaya efisiensi dilakukan. Langkah ini menjadi respons terhadap penurunan permintaan layanan pendidikan daring serta tekanan finansial akibat situasi ekonomi global yang tidak menentu.
Selain itu, Ruangguru juga fokus pada restrukturisasi bisnis untuk meningkatkan efisiensi operasional. Dalam pernyataannya, perusahaan menyebut bahwa perubahan ini diperlukan agar mereka tetap kompetitif di tengah kondisi pasar yang penuh tantangan.
Kesimpulan: Adaptasi atau Kehilangan Relevansi
Gelombang tech winter menjadi ujian besar bagi unicorn di Indonesia. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya menghadapi tantangan dari pasar global yang melambat, tetapi juga dari perubahan preferensi konsumen, tekanan margin, dan kebutuhan untuk profitabilitas jangka panjang.
Meski beberapa di antaranya mampu beradaptasi dengan mengubah model bisnis atau memperluas layanan, banyak juga yang kehilangan daya tarik awal mereka sebagai perusahaan dengan pertumbuhan tinggi.