Ilustrasi fintech pinjaman online (pinjol) atau kredit online alias peer to peer (P2P) lending ilegal harus diwaspadai. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Bukan Boomers, yang Terjebak Pinjol Ilegal Justru Berasal dari Usia 26-35 Tahun

  • Hingga pertengahan tahun 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total pengaduan terkait layanan pinjaman online (fintech) mencapai angka yang signifikan. Berdasarkan data layanan konsumen OJK, dari 1 Januari 2024 hingga 30 Juni 2024, terdapat 5.047 pengaduan yang diterima.

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh Satgas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, fenomena terjeratnya masyarakat oleh pinjaman online (pinjol) ilegal didominasi oleh kelompok usia tertentu.

Friderica Widyasari Dewi, Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen (PEPK) Otoritas Jasa Keuangan (OJK), menyampaikan bahwa rentang usia 26 hingga 35 tahun merupakan kelompok yang paling banyak terjerat pinjaman online ilegal. 

"Berdasarkan data yang dimiliki oleh Satgas PASTI, pengaduan terkait pinjol ilegal periode 1 Januari sampai 30 Juni 2024 didominasi oleh rentang usia 26 hingga 35 tahun," ungkap Friderica melalui jawaban tertulis, dikutip Rabu, 10 Juli 2024. 

Kondisi ini menunjukkan bahwa generasi milenial yang sedang berada dalam usia produktif cenderung menjadi target utama para pelaku pinjaman online ilegal.

Keterkaitan Internasional Pinjaman Online Ilegal

Lebih jauh, Friderica juga menjelaskan bahwa banyak pelaku pinjaman online ilegal yang beroperasi dengan memanfaatkan server di luar negeri. 

"Berdasarkan data yang dimiliki oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, sebagian besar pelaku pinjol ilegal menggunakan server di luar negeri," tambahnya.

Hal ini terbukti dengan munculnya kembali aplikasi pinjol ilegal yang telah diblokir dalam waktu singkat dengan identitas yang hanya sedikit diubah, seperti penambahan huruf, tanda baca, atau angka. 

Friderica menegaskan bahwa fenomena ini menunjukkan kecenderungan pelaku pinjaman online ilegal untuk beroperasi di luar wilayah Indonesia, sehingga sulit dijangkau oleh otoritas lokal.

"Indikasi tersebut menunjukkan kecenderungan bahwa pelaku melakukan kegiatan di luar wilayah Indonesia dan cenderung menggunakan rekening di luar negeri sehingga menghindari jangkauan otoritas di wilayah Indonesia," jelas Friderica. 

Dengan demikian, permasalahan ini tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi juga melibatkan jaringan internasional yang rumit.

Baca Juga: Fintech Lending Kerap Dimanfaatkan untuk Judi Online, Begini Siasat AFTECH

Jumlah Pengaduan Pinjaman Online 

Hingga pertengahan tahun 2024, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat total pengaduan terkait layanan pinjaman online (fintech) mencapai angka yang signifikan. Berdasarkan data layanan konsumen OJK, dari 1 Januari 2024 hingga 30 Juni 2024, terdapat 5.047 pengaduan yang diterima.

Pengaduan Terbanyak: Perilaku Petugas Penagihan

Friderica mengungkapkan bahwa pengaduan terbanyak terkait fintech adalah mengenai perilaku petugas penagihan. "Tercatat 3.017 pengaduan masuk melalui Aplikasi Pelaporan Pengaduan Konsumen (APPK) OJK," ujarnya. Perilaku petugas penagihan ini menjadi perhatian utama karena banyaknya keluhan yang diterima oleh OJK.

Jenis Pengaduan Lainnya

Selain perilaku petugas penagihan, ada empat jenis pengaduan lain yang juga banyak dilaporkan. Pengaduan tersebut meliputi kegagalan atau keterlambatan transaksi, penipuan eksternal (fraud external), penyalahgunaan data pribadi, serta permasalahan terkait bunga, denda, dan penalti.

Friderica menjelaskan bahwa OJK terus berkomitmen untuk menegakkan disiplin dan memastikan bahwa Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) mematuhi ketentuan yang berlaku. 

"OJK senantiasa melakukan penegakan disiplin atas pelanggaran ketentuan yang dilakukan oleh PUJK, termasuk bagaimana perilaku petugas penagihan yang mewakili PUJK dalam melakukan tugasnya," jelasnya.