Ilustrasi Fintech Peer to Peer (P2P) Lending alias kredit online atau pinjaman online (pinjol) yang resmi dan terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK), bukan ilegal. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Deretan Kasus Fintech Lending yang Menonjol Sepanjang 2024

  • Fintech peer-to-peer (P2P) lending telah menjadi salah satu solusi pembiayaan alternatif bagi masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Namun, sepanjang tahun 2024, empat perusahaan fintech P2P lending di Indonesia menghadapi pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Fintech

Idham Nur Indrajaya

JAKARTA - Fintech peer-to-peer (P2P) lending telah menjadi salah satu solusi pembiayaan alternatif bagi masyarakat Indonesia, khususnya pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). 

Namun, sepanjang tahun 2024, empat perusahaan fintech P2P lending di Indonesia menghadapi pencabutan izin usaha oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Berikut adalah profil keempat perusahaan tersebut beserta kronologi pencabutan izin usahanya.

1. Dhanapala

Dhanapala merupakan platform P2P lending yang berfokus pada pembiayaan UMKM. Dengan slogan "Empowering Local Businesses, Enabling Financial Growth," Dhanapala menjalin kemitraan strategis dengan Tokopedia melalui program Modal Toko untuk memberikan solusi pembiayaan mudah bagi para penjual di platform e-commerce tersebut. 

Kantor pusat Dhanapala berada di Ciputra World 2, Jakarta Selatan. Namun, pada 5 Juli 2024, OJK mencabut izin usaha Dhanapala sesuai Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-35/D.06/2024. 

Pencabutan izin ini diajukan atas permintaan perusahaan untuk melakukan sentralisasi kegiatan usaha di bawah satu entitas, mengingat grup pemegang saham memiliki dua perusahaan yang beroperasi di sektor yang sama. 

Pasca pencabutan, Dhanapala diwajibkan menghentikan operasional, menyelenggarakan rapat pembubaran badan hukum, dan menyelesaikan hak serta kewajiban kepada konsumen dan pihak ketiga.

2. Jembatan Emas

Berdiri pada tahun 2018, Jembatan Emas adalah fintech lending yang bertujuan memberikan akses pembiayaan bagi individu dan UMKM yang sulit mendapatkan pinjaman dari lembaga keuangan tradisional. 

Layanan unggulannya mencakup pinjaman individu dan pembiayaan UMKM dengan bunga kompetitif dan tenor fleksibel. Perusahaan ini beroperasi dari kantor di Gedung Senayan Business Center, Jakarta Selatan.

Pada 3 Juli 2024, izin usaha Jembatan Emas dicabut oleh OJK melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-33/D.06/2024. Alasannya adalah ketidakmampuan perusahaan memenuhi ketentuan permodalan minimum dan pemenuhan jumlah direksi sesuai regulasi. 

Keputusan ini diambil setelah OJK memberikan peringatan dan pengawasan untuk membantu perusahaan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. Pencabutan ini mencerminkan risiko tinggi yang dihadapi perusahaan fintech apabila tidak mampu menjaga stabilitas keuangan dan struktur organisasi.

Baca Juga: Walau Bubar, Utang Borrower di Investree akan Tetap Ditagih

3. TaniFund

TaniFund adalah platform P2P lending yang berfokus pada pembiayaan agrikultur. Berdiri sejak 2017, perusahaan ini bertujuan memberdayakan petani lokal dengan menyediakan pinjaman produktif berbasis dampak sosial. 

Sebagai anak perusahaan dari TaniHub, TaniFund berupaya mendukung pengembangan sektor pertanian di Indonesia.

Namun, TaniFund menghadapi masalah gagal bayar sejak 2022, dengan tingkat keberhasilan pembayaran 90 hari (TKB90) hanya mencapai 50% pada akhir tahun tersebut. Kasus ini memicu pengaduan dari 129 lender dengan total investasi senilai Rp14 miliar. 

Setelah upaya perbaikan gagal dilakukan, OJK mencabut izin usaha TaniFund pada 3 Mei 2024. Keputusan ini diambil karena perusahaan tidak mampu memenuhi ekuitas minimum dan rekomendasi pengawasan, sebagaimana diatur dalam Peraturan OJK Nomor 63/POJK.05/2016 dan Nomor 10/POJK.05/2022.

Sebelum pencabutan izin, OJK mencatat banyaknya laporan pengaduan dari konsumen, yang memperkuat perlunya tindakan tegas terhadap TaniFund. Kasus ini juga menyoroti pentingnya tata kelola perusahaan yang baik dan pemantauan terhadap tingkat keberhasilan pembayaran untuk mengurangi risiko bagi lender.

4. Investree

Investree dikenal sebagai pionir fintech P2P lending di Indonesia. Perusahaan ini menawarkan berbagai produk pembiayaan, seperti Buyer Financing, Invoice Financing, hingga pendanaan syariah. 

Kantor pusatnya terletak di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta Selatan. Selain itu, Investree juga mencatatkan berbagai pencapaian, seperti meningkatkan pendapatan 41% borrower mikro pada periode 2020-2021.

Namun, pada 21 Oktober 2024, OJK mencabut izin usaha Investree melalui Keputusan Dewan Komisioner Nomor KEP-53/D.06/2024. Pencabutan ini dilakukan karena pelanggaran ketentuan ekuitas minimum serta memburuknya kinerja operasional. 

Sebelumnya, OJK telah memberikan kesempatan kepada manajemen untuk memperbaiki kondisi perusahaan, termasuk mendatangkan investor strategis. Selain itu, CEO Investree, Adrian Gunadi, diduga melarikan diri ke luar negeri, sehingga OJK bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk menyelesaikan kasus ini.

Investree juga menghadapi kesulitan dalam menjaga kepercayaan lender dan borrower karena ketidakmampuan manajemen memenuhi persyaratan regulasi.