Garuda Disuntik Negara Rp8,5 triliun, Saham Chairul Tanjung Susut Jadi Hanya 9,9%
Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) berencana menerbitkan obligasi wajib konversi (OWK) dengan nilai maksimal Rp8,5 triliun. Penerbitan OWK ini bakal dilaksanakan dengan skema Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) alias private placement.
Industri
JAKARTA – Maskapai pelat merah PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA) berencana menerbitkan obligasi wajib konversi (OWK) dengan nilai maksimal Rp8,5 triliun. Penerbitan OWK ini bakal dilaksanakan dengan skema Penambahan Modal Tanpa Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) alias private placement.
Nilai pelaksananya ditetapkan sebesar 90% berdasarkan harga rata-rata saham perseroan selama kurun waktu 25 hari sebelum tanggal konversi dilakukan. Emisi OWK ini bakal menggunakan denominasi rupiah dengan tenor 7 tahun.
“Pemegang OWK direncanakan merupakan Pemerintah Republik Indonesia. Dalam hal ini Kementerian Keuangan, yang akan diwakili oleh afiliasi dari perseroan melalui kepemilikan saham oleh Pemerintah Republik Indonesia,” terang Manajamen Garuda Indonesia dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), dinukil Kamis 15 Oktober 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Dalam surat itu juga diterangkan bahwa tujuan dari penerbitan OWK adalah untuk memperkuat struktur modal perusahaan. Harapannya, supaya masalah likuiditas perseroan dapat terselesaikan.
Sehingga keberlangsungan hidup Garuda Indonesia yang notabene merupakan maskapai penerbangan terbesar di Indonesia pun bisa semakin baik di masa mendatang.
Saham Publik Terdilusi
Manajemen Garuda menjelaskan, selama pandemi perseroan telah membukukan rugi bersih sebesar US$728,14 juta. Bahkan, saldo ekuitas perusahaan telah berada pada teritori negatif alias defisiensi modal yakni US$80,73 juta.
Plus, disertai pula dengan penurunan aset lancar sebesar 45% menjadi hanya US$165,41 juta.
Untuk itu, dibutuhkan tambahan modal besar agar bisa memperbaiki segala problematika ini. Posisi keuangan perusahaan bisa diperbaiki sehingga aktivitas operasional perusahaan dapat terjaga.
“Tujuan untuk perbaikan posisi keuangan oleh karena perseroan telah mempunyai modal kerja bersih negatif dan mempunyai kewajiban melebihi 80 persen dari aset perusahaan terbuka tersebut pada saat RUPS menyetujui penambahan modal,” terang Manajemen Garuda Indonesia.
Berdasarkan neraca hasil perhitungan internal perseroan per tanggal 30 Juni 2020, Perseroan memenuhi kondisi modal kerja negatif sebesar US$3,68 miliar. Jumlah liabilitas perseroan tercatat sebesar US$10,36 miliar. Nilai ini telah melampaui 80% dari total aset perseroan yang tercatat sebesar US$10,28 miliar.
Adapun setelah penambahan modal ini, maka proporsi kepemilikan saham Seri B perseroan pun akan terdilusi sebanyak 61%. Asumsi proforma itu didapat dari hasil konversi 90% rata-rata harga penutupan saham perseroan pada 25 hari terakhir sebelum 13 Oktober 2020.
Sebab itu, nilai konversi saham pun ditetapkan cukup rendah, yakni di level Rp205 per lembar. Padahal saat ini, 15 Oktober 2020, saham Garuda Indonesia sudah berada pada posisi Rp246 per lembar. Naik 6 poin atau 2,5% dibandingkan penutupan bursa hari sebelumnya yang hanya Rp240 per lembar.
Dengan asumsi tersebut, kepemilikan saham pemerintah di GIAA pun akan bertambah dari sebelumnya 60,5% menjadi 84,8%. Sementara itu, saham PT Trans Airways milik Chairil Tanjung bakal menyusut dari 25,8% menjadi 9,9%. Pun demikian dengan saham publik yang turut menciut dari 13,7% menjadi 9,9%. (SKO)