Ilustrasi fintech pinjaman online (pinjol) atau kredit online alias peer to peer (P2P) lending ilegal harus diwaspadai. Ilustrator: Deva Satria/TrenAsia
Fintech

Kerugian Capai Rp120 T, Pengembalian Uang Korban Investasi Ilegal Perlu Perhatian Pemerintah

  • Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selama tahun 2022 nilai kerugian masyarakat akibat investasi dan pinjol ilegal mencapai sekitar Rp120,79 triliun

Fintech

Ananda Astri Dianka

JAKARTA – Pemerintah diharapkan memberikan perhatian serius terhadap para korban investasi ilegal dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang angkanya terus meningkat tajam. 

Selain memberikan keadilan ekonomi, pengembalian uang masyarakat yang menjadi korban dua instrumen ilegal itu dinilai penting untuk dilakukan karena esensial untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap sektor keuangan dan memastikan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi.

Budi Santoso, Direktur Pelatihan Association Of Certified Fraud Examiner (ACFE) Indonesia Chapter mengatakan, upaya pemulihan aset masyarakat korban investasi dan pinjol ilegal ini akan mengirimkan pesan kuat bahwa pemerintah serius dalam melindungi hak dan kepentingan warganya. Dan yang lebih penting lagi adalah menegakkan integritas pasar keuangan Indonesia.

“Besarnya jumlah kerugian akibat investasi dan pinjol ilegal menandakan bahwa ada masalah besar dalam sistem keuangan kita. Digitalisasi yang cepat, rendahnya literasi keuangan dan lemahnya regulasi menjadikan investasi dan pinjol ilegal tumbuh subur di Indonesia. Kondisi kita saat ini sudah darurat investasi dan pinjol ilegal, makanya butuh penanganan ekstra, bukan dengan cara-cara biasa,” tegas Budi di Jakarta, Selasa 29 Agustus 2023.

Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), selama tahun 2022 nilai kerugian masyarakat akibat investasi dan pinjol ilegal mencapai sekitar Rp120,79 triliun. Jumlah tersebut melesat tajam dibandingkan kerugian dari dua instrumen yang sama di tahun 2021 yang baru sekitar Rp2,54 triliun.

Lebih jauh Budi mengungkapkan, Indonesia, seperti banyak negara lain, menghadapi tantangan dengan skema investasi ilegal atau penipuan. Isu ini diperbesar oleh beberapa faktor seperti faktor budaya dan ekonomi. Dalam prespektif budaya, struktur komunitas yang tradisional dan erat terkadang mendorong orang untuk mempercayai rekomendasi dari teman atau keluarga tanpa verifikasi yang memadai. Aspek tersebut kemudian turut memfasilitasi penyebaran skema penipuan.

“Dari sisi ekonomi, banyak orang seringkali tertarik pada peluang investasi yang "terlalu bagus untuk menjadi kenyataan" atau tidak masuk akal, tanpa pemeriksaan yang memadai. Sebenarnya banyak yang sadar bahwa pengembalian investasi yang ditawarkan tidak logis, tapi karena keinginan untuk segera untung besar membuat semua risiko diabaikan. Buktinya banyak orang yang paham keuangan juga jadi korban investasi ilegal,” ungkap Budi yang juga Dosen Akuntansi Forensik dan Audit Investigasi di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Solo.

Menurut Budi ada tiga jenis investasi ilegal yang paling banyak terjadi di Indonesia. Pertama, skema ponzi. Skema ini menjanjikan imbal hasil tinggi dan mengandalkan dana dari investor baru untuk membayar investor sebelumnya. Ketika aliran dana baru berhenti, skema ini runtuh.

Kedua, perusahaan investasi tanpa lisensi. Perusahaan ini beroperasi tanpa lisensi yang diperlukan dan sering terlibat dalam usaha berisiko tinggi atau penipuan murni. Ketiga, penipuan online. Kasus ini sangat marak mengingat pertumbuhan platform digital. Mereka mungkin berbentuk situs web investasi palsu, penipuan phishing, atau platform kripto palsu.

Budi kemudian menyampaikan sejumlah gagasan yang bisa dilakukan pemerintah dan lembaga keuangan terkait untuk memulihkan kerugian masyarakat dari investasi ilegal tersebut. Pertama,  Pemulihan Aset dan Likuidasi. Yaitu dengan mendirikan unit atau tim khusus untuk memulihkan aset dari skema penipuan dan melikuidasi aset fisik yang dimiliki oleh perusahaan investasi ilegal dan mendistribusikan hasilnya kepada korban.

Kedua, melakukan tindakan hukum. Menguatkan kerangka hukum untuk segera membawa pelaku skema penipuan ke pengadilan. Kemudian mengimplementasikan perintah restitusi dimana pengadilan memerintahkan individu atau entitas yang terbukti bersalah untuk mengkompensasi korban.

Ketiga, adanya dana kompensasi.  Membuat dana kompensasi yang didukung pemerintah, mirip dengan asuransi, untuk korban penipuan investasi. Meskipun mungkin tidak mencakup semua kerugian, dana seperti itu dapat memberikan bantuan segera, terutama bagi mereka yang kehilangan jumlah uang yang signifikan.

Langkah keempat, melakukan kerjasama Internasional. Jika pelaku penipuan atau asetnya berada di luar negeri, bekerja sama dengan badan internasional atau pemerintah asing untuk pemulihan aset. Bergabung dengan perjanjian atau traktat internasional yang berfokus pada kejahatan finansial lintas batas untuk memfasilitasi ekstradisi dan penuntutan pelaku.

“Yang lebih penting lagi adalah penguatan pengawasan OJK. Yaitu dengan meningkatkan kekuatan dan kapasitas OJK dalam mengawasi dan mengatur aktivitas investasi. Termasuk menetapkan pedoman jelas untuk skema investasi yang sah dan memastikan sanksi ketat bagi yang beroperasi di luar pedoman ini,” tutup Budi Santoso.