Ketentuan Ekspor Impor Listrik PLTS Atap Dihapus, ESDM Buka Alasannya
- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut, alasan pengguna PLTS Atap tidak lagi bisa mengekspor kelebihan listriknya ke PT PLN (Persero) untuk mengurangi tagihan listrik.
Energi
JAKARTA - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan alasan mengenai ekspor impor listrik dalam revisi aturan mengenai pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya atau PLTS Atap.
Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 26 Tahun 2021.
Dalam aturan baru, pengguna PLTS Atap tidak lagi bisa mengekspor kelebihan listriknya ke PT PLN (Persero) untuk mengurangi tagihan listrik.
Plt Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Jisman P. Hutajulu mengatakan, yang mendasari revisi tersebut adalah kelebihan listrik dari pengguna PLTS atap rumah tangga trennya tidak terlalu besar, hanya 2-3% per tahun sejak implementasi pada 2018.
"Kami berani tidak mengeluarkan ekspor impornya, karena faktanya dari 149 MW ini untuk yang rumah tangga ini ternyata yang ekspornya itu enggak lebih dari ya mungkin 2-3 persen angkanya dari PLN," kata Jisman dalam acara Sosialisasi Permen ESDM Nomor 2 Tahun 2024 di Kementerian ESDM pada Selasa, 5 Maret 2024.
- Beda Suara Kelanjutan Kebijakan HGBT Kemenperin Dan ESDM
- Usung Konsep Unik, Canadian 2 for 1 Pizza Siap Masuk Pasar Indonesia
- Potensi Belanja Pemerintah 2024 Capai Rp1.200 Triliun
Harapannya pelanggan rumah tangga pada dasarnya dapat memanfaatkan hampir seluruh daya dari PLTS atap untuk kebutuhan sendiri, sehingga mekanisme ekspor-impor tidak diperlukan lagi.
Namun, di sisi lain, saat ini pemerintah telah menetapkan sistem kuota per cluster untuk pemasangan PLTS atap ini. Hal ini mempertimbangkan sifat PLTS atap yang intermiten yang akan berimbas pada keandalan sistem.
Di mana kuota sistem PLTS atap ini akan diusulkan oleh PLN kepada Kementerian ESDM untuk kemudian ditetapkan dan diturunkan menjadi kuota clustering. Penetapan kuota ini maksimal 3 bulan setelah revisi Permen PLTS atap terbit.
Sekadar informasi, Perubahan kebijakan tercantum dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 2 Tahun 2024 Tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, yang merupakan revisi dari Permen ESDM No 26 Tahun 2021.
Dalam peraturan baru ini, skema net-metering dihapuskan sehingga kelebihan energi listrik atau ekspor tenaga listrik dari pengguna ke PT PLN (Persero) tidak dapat dihitung sebagai bagian pengurangan tagihan listrik.
Dinilai Merugikan
Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, peniadaan skema net-metering akan mempersulit pencapaian target Proyek Strategis Nasional (PSN) berupa 3,6 GW PLTS atap pada 2025 dan target energi terbarukan 23% pada tahun yang sama. Dampak dari peniadaan skema ini adalah menurunnya tingkat keekonomian PLTS atap khususnya di segmen rumah tangga yang umumnya mengalami beban puncak di malam hari.
Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif IESR mengatakan bahwa pelanggan rumah tangga atau bisnis kecil akan cenderung menunda adopsi PLTS atap karena permintaan puncak listrik mereka terjadi di malam hari, sedangkan PLTS menghasilkan puncak energi di siang hari. Tanpa net-metering, investasi PLTS atap menjadi lebih mahal, terutama jika pengguna harus mengeluarkan dana tambahan untuk penyimpanan energi (battery energy storage).
“Net-metering sebenarnya sebuah insentif bagi pelanggan rumah tangga untuk menggunakan PLTS Atap. Dengan tarif listrik PLN yang dikendalikan, net-metering membantu meningkatkan kelayakan ekonomi sistem PLTS atap yang dipasang pada kapasitas minimum, sebesar 2 - 3 kWp untuk konsumen kategori R1. Tanpa net-metering dan biaya baterai yang masih relatif mahal, kapasitas minimum ini tidak dapat dipenuhi sehingga biaya investasi per satuan kilowatt-peak pun menjadi lebih tinggi. Inilah yang akan menurunkan keekonomian sistem PLTS atap,” ungkap Fabby Tumiwa (23/2).
Baca Juga: Hingga Akhir 2023, Xurya Pasang PLTS Atap di Lebih dari 100 Perusahaan
Untuk PLTS atap kapasitas lebih besar dari 3 MW (tiga megawatt), Permen ini mewajibkan pengguna untuk menyediakan pengaturan basis data prakiraan cuaca yang terintegrasi dengan sistem Supervisory Control and Data Acquisition (SCADA) atau smart grid distribusi milik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
“Peraturan ini menghilangkan kewajiban membayar biaya paralel pembangkitan listrik, yaitu biaya kapasitas dan biaya layanan darurat yang sebelumnya diterapkan ke industri - setara 5 jam per bulan. Penghapusan biaya paralel ini menambah daya tarik bagi pelanggan industri, namun kewajiban penyediaan weather forecast untuk sistem lebih dari 3 MW juga akan menambah komponen biaya pemasangan,” ungkap Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan, IESR.
Marlistya juga menyoroti pengaturan termin pengajuan permohonan oleh calon pelanggan, yang dilakukan menjadi dua kali per tahun, yakni tiap bulan Januari dan Juli.
“Pengaturan ini serta penetapan kuota per sistem jaringan memunculkan pertanyaan terkait transparansi penetapan dan persetujuan kuota, terutama untuk pelanggan industri yang ingin memasang PLTS atap dalam skala besar, sementara mekanisme IUPTLU untuk menambah kuota ketika kuota sistem sudah habis tidak diatur jelas dalam peraturan ini,” lanjutnya.
Permen ini memberikan jaminan bagi para pelanggan yang sudah memanfaatkan sistem PLTS atap sebelum peraturan ini diundangkan, tetap terikat pada peraturan sebelumnya, hingga 10 tahun berikutnya. Termasuk masih mendapat manfaat dari sistem ekspor listrik PLTS atap.
“Sebagai pengguna PLTS atap on-grid, sebenarnya saya justru memiliki pertanyaan tentang aturan peralihan ini - mengingat selama pemasangan, ekspor PLTS atap masih dihitung setara 0,65 tarif tenaga listrik berdasar Permen ESDM No. 49/2018, tidak 1:1 seperti Permen ESDM No. 26/2021. Aturan peralihan ini perlu diinformasikan secara jelas pada pengguna PLTS atap saat ini,” kata Marlistya.
IESR menyayangkan Permen ini terlalu berpihak pada kepentingan PLN yang dapat berdampak pada terhambatnya partisipasi konsumen listrik mendukung tujuan pemerintah mengakselerasi transisi energi di Indonesia, upaya penurunan emisi GRK yang berbiaya rendah dan tidak membebani negara karena investasi energi terbarukan dilakukan oleh konsumen listrik tanpa perlu subsidi negara..
Fabby Tumiwa berharap agar aturan baru ini dapat diimplementasikan dengan memperhatikan manfaat yang didapatkan negara jika PLTS atap dibiarkan tumbuh pesat, yaitu peningkatan investasi energi terbarukan, tumbuhnya industri PLTS, penciptaan lapangan kerja, dan penurunan emisi GRK.
Untuk itu, IESR mendesak agar dilakukan evaluasi setelah 1 tahun pelaksanaan Permen untuk mengetahui efektivitasnya dalam mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia. Pemerintah perlu secara terbuka untuk merevisinya pada tahun 2025 seiring dengan menurunnya ancaman overcapacity listrik yang dihadapi PLN di Jawa-Bali.