<p>Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor Kamis (13/2)/TA</p>
Nasional & Dunia

Mengawal Judicial Review Perda KTR Bogor

  • JAKARTA – Seiring dengan judicial review Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor yang masih bergulir di Mahkamah Agung hingga saat ini, sejumlah pengamat terus mengawal proses ini dengan melakukan diskusi publik. Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Radio Trijaya FM pada Kamis (13/02) siang tadi, pembahasan fokus pada uji materi Perda KTR dan […]

Nasional & Dunia
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Seiring dengan judicial review Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor yang masih bergulir di Mahkamah Agung hingga saat ini, sejumlah pengamat terus mengawal proses ini dengan melakukan diskusi publik.

Dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Radio Trijaya FM pada Kamis (13/02) siang tadi, pembahasan fokus pada uji materi Perda KTR dan hubungannya dengan kepastian investasi di era pemerintahan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Seperti diketahui, Presiden Jokowi sudah sejak periode pertama pemerintahannya berfokus pada optimalisasi investasi di Indonesia.

Hadir dalam diskusi tersebut, Robert Endi Jaweng, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) dan Trubus Rahardiansyah, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti. Kedua narasumber menilai jika Perda KTR di Bogor bertentangan dengan sejumlah peraturan pemerintah pusat.

Faktanya, Perda KTR di Bogor telah melampaui ketetapan peraturan di atasnya sehingga terkesan menjadikan Bogor sebagai kota antirokok. Polemik Perda KTR di Bogor  bermula ketika Pemerintah Daerah (Pemda) Bogor memperluas KTR sampai ke ritel kecil dan pasar tradisional dan juga melarang pemajangan produk rokok di semua media, termasuk pedagang asongan.

Dengan pembatasan yang dibuat, para pedagang kecil di Bogor kehilangan omzet hingga 40 persen. Oleh karena itu para pedagang di Bogor akhirnya menempuh jalur Judicial Review ke MA.

Kewenangan Pencabutan

Jalur ini sengaja diambil karena Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2017 silam untuk membatalkan Perda yang dianggap bermasalah. Kewenangan saat ini berada di tangan Mahkamah Agung (MA), sedangkan MA sendiri bersifat pasif, sehingga jika tidak ada gugatan yang masuk ke MA maka MA tidak akan pernah mencari sendiri Perda yang bermasalah.

“Kalau lihat yang terjadi sekarang setelah tiga tahun sejak dipindah ke MA, kamar peradilan Perda itu sepi sekali. Kalau tidak ada laporan ya MA tidak akan cari-cari, nggak akan pernah ada pembatalan Perda kalau tidak ada yang menggugat,” kata Endi.

Lebih jauh menurut Trubus, Perda KTR sudah bermasalah karena dalam prosesnya tidak melibatkan partisipasi publik. Kehadiran publik dalam pembuatan kebijakan sangat penting mengingat kebijakan publik merupakan produk hukum yang mempengaruhi banyak kepentingan masyarakat itu sendiri.

Sehingga dalam pengambilan keputusannya, pejabat publik harus tetap patuh pada perundang-undangan di level nasional. Artinya, Perda tidak seharusnya melampaui keputusan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 yang mengatur tentang pengendalian tembakau.

Pengendalian, Bukan Pelarangan

Dalam PP 109 Tahun 2012 berbunyi pengendalian, bukan pelarangan. Dasarnya adalah putusan MK Nomor 6 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa rokok adalah produk legal, dengan demikian produk dan segala aktivitasnya juga legal.

Hanya saja, dengan ekternalitas negatif yang  rokok miliki, pemerintah memutuskan untuk membatasi produk dan aktivitasnya. Sehingga MK memutuskan untuk setiap daerah wajib memiliki KTR sebagai bentuk kebijakan yang berkeadilan, antara perokok dan yang bukan perokok.

“Dalam konteks apa yang diatur di Bogor ini paradigmanya adalah paradigma antirokok. Ini yang kemudian sedang diuji apakah benar seperti itu, karena sudah ditetapkan MK kalau rokok adalah barang legal. Kalau barang legal maka seluruh kegiatan yang berkaitan dengan rokok harusnya dianggap kegiatan yang legal. Tentu legalnya sejalan dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Trubus.

Sebagai pakar kebijakan publik, Trubus menambahkan persoalan ini jangan hanya dilihat dari aspek hukum saja. Tetapi juga pertimbangan sosiologis para pedagang dan keseluruhan industri rokok dari hulu ke hilir.

Kedua narasumber berharap MA akan mengambil keputusan yang berkeadilan dan mendahului kepentingan nasional. Begitu juga dengan Pemda Bogor yang harus siap patuh pada apapun putusan MA nanti.

“Kalau Perda ini dibatalkan, direvisi oleh MA maka harus dijalankan. Kalau tidak dijalankan juga, harus ada sanksi bagi Pemda, teguran tertulis dua kali, kalau tidak juga diindahkan kita panggil ke Jakarta ke Kemendagri, istilahnya disekolahkan khusus 3 bulan untuk pembinaan. Kalau tidak juga dijalankan, dipulangkan ke daerah berhenti sementara,” tutup Endi.