Mahkamah Konstitusi (Amnesty International).
Nasional

Mengenal Para Hakim MK yang Beda Pendapat Soal Syarat Capres

  • Empat hakim konstitusi yang terdiri dari Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Arief Hidayat mengajukan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dalam perkara a quo itu.

Nasional

Khafidz Abdulah Budianto

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja memutus sederet permohonan soal persyaratan calon presiden (capres)–calon wakil presiden (cawapres), Senin 17 Oktober 2023. Putusan tersebut menjadi perbincangan publik dan direspons banyak pihak. 

Pasalnya MK mengabulkan permohonan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam perkara tersebut, Anwar Usman berbalik arah dengan mengabulkan sebagian permohonan. Empat hakim konstitusi yang terdiri dari Suhartoyo, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Arief Hidayat mengajukan dissenting opinion (perbedaan pendapat) dalam perkara a quo itu. 

Berikut profil empat hakim yang mengajukan dissenting opinion dalam sidang syarat capres-cawapres beberapa waktu lalu. 

Hakim Konstitusi Suhartoyo

Hakim Konstitusi Suhartoyo (Foto: Laman Resmi MK)

Suhartoyo menjadi Hakim Konstitusi sejak dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 17 Januari 2015 menggantikan Ahmad Fadlil Sumadli. Ia sebelumnya menjabat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar. Pria kelahiran Sleman, 15 November 1959 itu mengawali karier di bidang hukum dengan menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Bandar Lampung.

Kariernya terus meningkat hingga sempat menduduki jabatan sebagai Ketua Pengadilan Negeri di sejumlah kota. Suhartoyo sempat tersangkut dalam isu kasus Sudjiono Timan yang banyak dituduhkan diputus olehnya. Meski demikian dirinya menjelaskan bahwa tidak ingin membela diri soal kasus tersebut dan percaya kebenaran akan datang.

Sosok Suhartoyo merupakan orang yang biasa. “Saya ini nyaman menjadi orang-orang biasa saja,” ujarnya, dikutip dari laman resmi Mahkamah Konstitusi, Rabu 18 Oktober 2023.

Hakim Konstitusi Saldi Isra

Hakim Konstitusi Saldi Isra (Foto: Laman Resmi MK)

Saldi Isra merupakan Hakim Konstitusi sekaligus wakil ketua MK. Profesi awalnya merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas. Saldi Isra dilantik oleh Presiden Jokowi pada 11 April 2017 menggantikan Patrialis Akbar. Pria kelahiran Paninggahan-Solok, 20 Agustus 1968 itu berhasil mengalahkan dua calon hakim lainnya kala seleksi.

Saldi Isra berhasil menduduki jabatan sebagai hakim MK saat berusia 48 tahun, lebih cepat dari impiannya yang mengimpikan jabatan tersebut kelak setelah berusia 55 tahun. Sebagai hakim MK Saldi berharap dapat memberikan sumbangsih dan mengembalikan maruah Mahkamah Konstitusi tersebut.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat

Hakim Konstitusi Arief Hidayat (Foto: Laman Resmi MK)

Arief Hidayat dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi Hakim Konstitusi menggantikan Mahfud MD pada 1 April 2013. Sebelumnya dirinya merupakan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Diponegoro. Dalam kariernya di MK, Arief Hidayat pernah secara aklamasi menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi periode 2014-2017.

Pria kelahiran Semarang, 3 Februari 1956 pada awalnya tidak terpikirkan menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi. Namun karena dukungan dari berbagai pihak termasuk Guru Besar HTN Universitas Andalas Saldi Isra, Ia berani mengajukan diri ke DPR untuk menjalani uji kelayakan dan kepatutan menjadi hakim konstitusi.

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams

Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams (Foto: Laman Resmi MK)

Berbeda dengan ketiga hakim lainnya yang memiliki latar belakang sebagai hakim di pengadilan negeri atau sebagai dosen di bidang hukum, Wahiduddin Adams justru mengawali kariernya sebagai birokrat Pegawai Negeri Sipil (PNS). Ia menjadi pegawai di Dirjen Peraturan Perundang-Undangan.

Selain menjadi birokrat, ia rupanya juga aktif di keorganisasian seperti menjadi anggota Dewan Penasihat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ketua Bidang Wakaf dan Pertanahan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan lainnya. Saat menduduki jabatan sebagai hakim terdapat perbedaan yang harus diadaptasinya seperti tidak lagi dapat tunduk pada sistem birokrasi serta harus bersikap independen.