rokok
Industri

Menyoal Rokok, Antara Pelarangan dan Pengendalian

  • JAKARTA – Tembakau barangkali merupakan salah satu komoditas paling popular di Indonesia. Masyarakat selah terkotak menjadi kelompok pro dan antitembakau. Sejak pertama kali masuk ke Nusantara pada abad ke-16, tembakau terus menjadi salah satu komoditas unggulan yang diandalkan pemerintah kolonial Belanda saat itu. Pada puncaknya, kuantitas produksi tanaman tembakau di Indonesia meroket di akhir abad […]

Industri
Ananda Astri Dianka

Ananda Astri Dianka

Author

JAKARTA – Tembakau barangkali merupakan salah satu komoditas paling popular di Indonesia. Masyarakat selah terkotak menjadi kelompok pro dan antitembakau.

Sejak pertama kali masuk ke Nusantara pada abad ke-16, tembakau terus menjadi salah satu komoditas unggulan yang diandalkan pemerintah kolonial Belanda saat itu. Pada puncaknya, kuantitas produksi tanaman tembakau di Indonesia meroket di akhir abad ke-19, antara 1871 sampai 1913.

Kenaikan kuantitas itu membawa dampak pada kemampuan ekspor tembakau  dan secara otomatis mendongkrak kesejahteraan petani. Bahkan hingga saat ini, tembakau menjadi penyumbang penerimaan negara terbesar.

Seperti diketahui, komoditas tembakau dibebankan tarif cukai akibat eksternalitas negatifnya bagi kesehatan dan lingkungan. Cukai sendiri memiliki dualisme fungsi, yakni sebagai instrumen penerimaan negara dan pengendalian konsumsi.

Oleh sebab itu, sama seperti halnya dualisme cukai, pro dan kontra terus mengiringi industri pertembakauan. Tembakau dan produk hasil tembakau atau rokok banyak menuai kontroversi, yakni dari segi ekonomi dan kesehatan.

Cukai Terus Melonjak

Menurut data Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) (11/02) realisasi penerimaan Cukai Hasil Tembakau (CHT) naik menjadi Rp5,05 triliun per 11 Februari 2020. Jumlah ini naik 12 kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya mampu mendapatkan CHT sebesar Rp423,5 miliar.

Melonjaknya penerimaana CHT ini didorong oleh kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) hingga 35 persen.

Tidak dapat dipungkiri, besarnya penerimaan dari CHT membuat pemerintah harus cermat mengambil kebijakan, antara melindungi penerimaan negara dengan melindungi kesehatan masyarakat dari efek buruk rokok.

Pemerintah sebetulnya telah menuangkan sebuah kebijakan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 Tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Roh dalam PP ini adalah kebijakan yang berkeadilan antara kepentingan ekonomi dan perlindungan kesehatan.

Aturan Pembatasan

Dalam PP 109 2012 ini, diatur beberapa hal mengenai aktivitas merokok, seperti Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Mahkamah Konstitusi bahkan menetapkan kewajiban bagi tiap daerah untuk menyediakan KTR.

Dalam konteks KTR, baru-baru ini sedang hangat judicial review yang diajukan oleh pedagang di kota Bogor yang keberatan dengan perluasan wilayah KTR yang melampaui ketetapan tujuh tempat KTR, yakni tempat belajar atau sekolah, tempat bermain anak, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan fasilitas umum yang dikelola pemerintah dan swasta.

Perluasan Perda KTR Bogor mengatasnamakan perlindungan kesehatan masyarakat Bogor. Tidak dapat dipungkiri, kondisi prevalensi perokok di Indonesia tidak kunjung turun sesuai yang ditetapkan pemerintah.

Fakta terbaru mencatat dalam satu decade terakhir, ada peningkatan 240 persen, dari 9,6 persen pada 2007 menjadi 23,1 persen pada 2018. Peningkatan drastis ini terjadi pada usia anak 10-14 tahun, sedangkan usia 15-19 tahun naik sebesar 140 persen.

Data ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk merumuskan kebijakan yang berkeadilan bagi semua pihak. Mengingat sektor ekonomi juga terus dirugikan dengan defisitnya pembiayaan Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) untuk membiayai pengobatan penyakit tidak menular yang disebabkan oleh salah satunya perilaku merokok.

Dengan segala sisi yang dimiliki industri rokok, pengamat optimistis Mahkamah Agung (MA) akan memberikan hasil uji materi yang paling baik bagi kepentingan nasional. Entah dari segi penerimaan negara maupun perlindungan kesejahteraan masyarakat.

“Kami yakin MA memiliki hakim-hakim yang akan melihat efek kebaikannya untuk kepentingan nasional, jadi kita tunggu dan patuhi putusannya,” Danang Giriwardana, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) saat dihubungi via telpon.