OJK Tanggapi Penggunaan Hukum Inggris Pinjaman Sindikasi Rp6 T BNI Ke Lippo
- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, pada prinsipnya perjanjian kredit /perikatan Badan Hukum Indonesia (BHI) dengan Badan Hukum Indonesia mengacu pada hukum perikatan yang diatur dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1320 tentang kebebasan berkontrak.
Industri
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) buka suara soal pinjaman sindikasi Rp6 triliun PT Bank BNI Tbk (BBNI) dan PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) kepada PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) berpayung hukum Inggris.
Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengatakan, pada prinsipnya perjanjian kredit /perikatan Badan Hukum Indonesia (BHI) dengan Badan Hukum Indonesia mengacu pada hukum perikatan yang diatur dalam KUH Perdata khususnya Pasal 1320 tentang kebebasan berkontrak.
Baik debitur maupu kreditur pinjaman sindikasi Rp6 triliun tersebut tentunya sudah berkonsultasi dengan lawyer masing-masing perihal legalitas kontrak tersebut.
- Penguatan Cadangan Devisa RI Topang Kepercayaan Investor Global
- Serapan Gas Industri Masih Lesu Meski Sudah Diberikan Harga Murah
- OpenAI Akan Berikan Bayaran Bagi Orang yang Melaporkan Masalah Keamanan dari ChatGPT, Tertarik?
“Setahu saya dalam perjanjiannya sendiri sebetulnya para pihak bisa memilih, hendak menundukan pada hukum negara mana (choice of law) untuk penjanjian tersebut,” kata Dian kepada TrenAsia.com, Kamis, 13 April 2023.
Dicontohkan, dalam sebuah perjanjian syndicated loan antara BHI dengan BHI, para pihak sepakat menundukkan diri pada hukum Inggris. Hal itu pada prinsipnya diperbolehkan apabila mengacu pada KUH Perdata.
“Yang perlu menjadi perhatian adalah klausul yang diperjanjikan dan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut tidak bertentangan antara wilayah hukum yang berbeda dengan hukum kontraknya (hukum Inggris dengan ketentuan yang berlaku di Indonesia),” tambah Dian.
Sebelumnya Koordinator Indonesia Financial Watch (IFW) Abraham Runga Mali mengatakan pihaknya mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk meminta klarifikasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam pemberian kredit sindikasi berpayung hukum Inggris tersebut meski transaksi akad kredit itu dalam denominasi rupiah dan melibatkan tiga entitas perseroan di Indonesia, baik kreditur maupun debitur.
“Klarifikasi otoritas terkait itu perlu dilakukan sehingga duduk perkara pemberian kredit sindikasi Rp6 triliun itu menjadi terang-benderang demi asas akuntabilitas dan prudential banking,” kata Abraham.
Awalnya IFW melihat sepintas pemberian kredit sindikasi Rp6 triliun tersebut adalah suatu praktik yang lumrah dalam bisnis perbankan. Dengan catatan, prosesnya sudah sesuai prosedur dan tidak ada ketentuan dan regulasi apapun yang dilanggar, pemberian fasilitas pinjaman oleh bank kepada suatu perusahaan memang sebuah kelaziman belaka.
Namun, karena fasilitas itu nilainya besar (Rp 6 triliun), dan melibatkan salah satu bank BUMN (BNI), tampaknya perlu pengawasan lebih ketat dari pemangku kepentingan terkait, dalam hal ini Otoritas Jasa keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia (BEI).
Pihak PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sendiri melalui Corporate Secretary PT Bank BNI Tbk Okki Rushartomo menanggapi bahwa penggunaan payung hukum asing dalam transaksi ini dimaksudkan agar lebih netral terutama bagi investor asing yang mungkin tertarik untuk bergabung dalam sebuah pinjaman sindikasi.
Seperti diketahui, Bank CIMB Niaga Tbk yang bertindak sebagai mandated lead arrangers pinjaman sindikali kali ini memiliki track record dalam menggaet pool investor ataupun kreditur asing.
“Biar lebih netral bagi investor atau kreditur asing yang mungkin tertarik joint sindikasi,” kata Okky kepada TrenAsia.com, Jumat 24 Februari 2023 lalu.