Pembebasan Cukai Rokok di Wilayah KPBPB Hilangkan Potensi Penerimaan Negara Rp27 Triliun
JAKARTA – Dengan kebijakan pembebasan cukai di lima daerah berstatus Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yaitu Tanjung Pinang, Bintang, Karimun, Batam, dan Sabang, negara berpotensi kehilangan potensi penerimaan negara hingga Rp27 triliun sepanjang 2018-2024. Sebagaimana diketahui, kebijakan pembebasan cukai di wilayah KPBPB telah dicabut sesuai dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengeluarkan nota […]
Industri
JAKARTA – Dengan kebijakan pembebasan cukai di lima daerah berstatus Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) yaitu Tanjung Pinang, Bintang, Karimun, Batam, dan Sabang, negara berpotensi kehilangan potensi penerimaan negara hingga Rp27 triliun sepanjang 2018-2024.
Sebagaimana diketahui, kebijakan pembebasan cukai di wilayah KPBPB telah dicabut sesuai dengan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai mengeluarkan nota dinas salah satunya nomor ND-466/BC/2019 pada 17 Mei 2019.
“Untuk merelaksasi pajak dari KPBPB, setidaknya negara mengeluarkan Rp6 triliun, tapi hasilnya tidak seperti yang diharapkan,” kata Wawan Wardiana, Direktur Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kamis, 18 Juni 2020.
- 11 Bank Biayai Proyek Tol Serang-Panimbang Rp6 Triliun
- PTPP Hingga Mei 2021 Raih Kontrak Baru Rp6,7 Triliun
- Rilis Rapid Fire, MNC Studios Milik Hary Tanoe Gandeng Pengembang Game Korea
- Anies Baswedan Tunggu Titah Jokowi untuk Tarik Rem Darurat hingga Lockdown
- IPO Akhir Juni 2021, Era Graharealty Dapat Kode Saham IPAC
Sebelum nota dinas tersebut dikeluarkan, lima wilayah KPBPB ini merupakan daerah yang diberikan relaksasi berupa bebas dari kepabeanan. Artinya, tidak ada pemungutan perpajakan di daerah ini termasuk cukai.
KPK mencatat, kerugian negara akibat pembebasan cukai rokok sebanyak 2,5 miliar batang rokok pada 2018 silam menghilangkan potensi penerimaan negara sebesar Rp942,1 miliar.
Terlebih, menurut Wawan, lima wilayah tersebut memiliki aturan yang berbeda terkait pembatasan kuota rokok. Indikatornya bermacam-macam, ada yang berdasarkan prevalensi perokok, jumlah wisatawan, dan sebagainya, sehingga aturan masing-masing daerah tidak bisa diseragamkan.
Dengan demikian, perhitungan konsumsi rokok dibandingkan dengan jumlah penduduknya menjadi tidak masuk akal. Dalam paparannya, Wawan mencontohkan jumlah konsumsi rokok di Tanjung Pinang, dengan asumsi jumlah penduduk di sana dibagi jumlah rokok, tiap orang termasuk bayi bisa mengkonsumsi rokok sebanyak 345 batang per hari. (SKO)