Ilustrasi pajak.
Makroekonomi

Penerapan Tax Amnesty Jilid III Dinilai Langkah Mundur

  • Program Tax Amnesty Jilid III dianggap sebagai langkah mundur, terutama di saat pemerintah juga sedang merancang kebijakan yang tidak populer. Hal itu seperti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Makroekonomi

Muhammad Imam Hatami

JAKARTA - Pemerintah kembali menggulirkan wacana Tax Amnesty Jilid III sebagai bagian dari upaya memperluas basis perpajakan dan mendorong repatriasi aset yang tidak dilaporkan. Kebijakan ini menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk para pengamat ekonomi, pelaku usaha, dan masyarakat umum. 

Tax Amnesty Jilid III dirancang untuk memperluas basis data wajib pajak dengan mengungkap aset yang selama ini tidak tercatat. Selain itu mendorong repatriasi aset dari luar negeri untuk meningkatkan penerimaan negara. 

Pemerintah berharap program ini dapat memperkuat posisi fiskal negara sekaligus meningkatkan rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang saat ini masih rendah dibanding negara lain di kawasan. 

Pelaksanaan tax amnesty diyakini mampu menambah penerimaan negara melalui uang tebusan yang dibayarkan wajib pajak, dan mengintegrasikan aset tidak tercatat ke dalam sistem perpajakan untuk memperkuat basis pajak jangka panjang. 

Pengalaman Sebelumnya

Pengalaman dari Tax Amnesty Jilid I pada tahun 2016 menunjukkan bahwa deklarasi aset dan repatriasi modal dalam jumlah besar mampu memberikan dorongan signifikan terhadap penerimaan negara, meski efek jangka panjangnya masih menjadi perdebatan. 

Namun, sejumlah kritik mengemuka terkait potensi dampak negatif dari program ini. Dikhawatirkan wajib pajak yang taat merasa tidak diuntungkan, sementara pengemplang pajak terus-menerus mendapat pengampunan. 

Hal ini dapat menimbulkan ekspektasi akan adanya pengampunan pajak serupa di masa depan. Selain itu program tax amnesty dinilai menciptakan disinsentif bagi wajib pajak yang selama ini patuh, karena merasa tidak mendapatkan perlakuan yang adil. 

Sejumlah pelajaran dapat diambil dari program sebelumnya. Tax Amnesty Jilid I (2016) mendapat sambutan baik dengan hasil signifikan, di mana deklarasi aset mencapai Rp4.800 triliun dan uang tebusan lebih dari Rp114 triliun. 

Namun, Program Pengungkapan Pajak Sukarela atau Tax Amnesty Jilid II (2022) hasilnya lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa manfaat marginal tax amnesty cenderung menurun jika dilakukan berulang kali. 

Fokus Digitalisasi Sistem

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyoroti bahwa efektivitas tax amnesty sulit terwujud tanpa penguatan sistem administrasi pajak dan penegakan hukum yang konsisten.

CITA juga merekomendasikan agar pemerintah fokus pada digitalisasi sistem perpajakan untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi. Selain itu perbaikan regulasi perpajakan guna menciptakan keadilan fiskal, serta edukasi masyarakat mengenai pentingnya kepatuhan pajak untuk mendukung pembangunan.  “Kalau benar ada tax amnesty lagi, ini sebuah langkah mundur,” tegas Fajri di Jakarta, dikutip Kamis, 21 November 2024.

Program ini dianggap sebagai langkah mundur, terutama di saat pemerintah juga sedang merancang kebijakan yang tidak populer. Hal itu seperti rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. 

Selain itu, banyak pihak mempertanyakan sasaran utama program ini, mengingat sebagian besar konglomerat sudah memanfaatkan Tax Amnesty Jilid I dan II. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa program tersebut hanya akan menguntungkan kelompok tertentu tanpa memberikan manfaat signifikan bagi wajib pajak kecil atau menengah. 

“Kalau wajib pajak berpikir akan ada tax amnesty yang selanjutnya, otomatis dia akan berpikir ‘Percuma patuh, buat apa? Toh, pada akhirnya ada tax amnesty’, yang pada akhirnya mendorong orang untuk tidak patuh. Dan pastinya distrust ke pemerintah karena tidak konsisten dengan ucapannya,” ujar Fajry.

Sementara itu, lembaga legislatif diharapkan melakukan kajian mendalam sebelum mengesahkan kebijakan ini. Manfaat jangka pendek dari penerimaan uang tebusan harus diimbangi dengan analisis dampak moral pajak serta keberlanjutan sistem perpajakan nasional. 

Wacana Tax Amnesty Jilid III terus menjadi perbincangan hangat di kalangan publik dan para pengamat kebijakan fiskal. Pendukung kebijakan ini, seperti Ketua Komisi XI DPR Misbakhun, menilai program ini sebagai upaya strategis untuk mendukung visi pemerintah baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. 

Ia menegaskan pengampunan pajak memberikan kesempatan kedua bagi para penghindar pajak untuk memperbaiki kepatuhan mereka di masa depan. "Pada saat yang sama kita juga harus memberikan peluang terhadap kesalahan-kesalahan yang masa lalu untuk diberikan sebuah program. Jangan sampai orang menghindar terus dari pajak, tapi tidak ada jalan keluar untuk mengampuni. Maka amnesty ini salah satu jalan keluar," terang Misbakhun, di Jakarta.

Keadilan sosial menjadi salah satu pertanyaan besar yang terus mencuat. Jika pemerintah tidak mampu menjawab isu ini secara jelas, wacana Tax Amnesty Jilid III berisiko mendapat penolakan luas dari masyarakat. 

Kritik utama yang sering muncul adalah bahwa program ini dinilai terlalu “pro-konglomerat” dan cenderung mengesampingkan rasa keadilan pajak. Oleh karena itu, pemerintah diharapkan lebih berhati-hati dalam merancang kebijakan ini agar tidak memperburuk persepsi publik terhadap sistem perpajakan nasional. 

Wacana pengampunan pajak atau Tax Amnesty Jilid III kembali mencuat setelah DPR memasukkan revisi UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.