Ilustrasi cukai rokok atau cukai hasil tembakau (CHT). Grafis: Deva Satria/TrenAsia
Industri

Pengamat Ungkap Kenaikan Cukai Rokok Tidak Efektif Turunkan Jumlah Perokok

  • Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% pada 2023 – 2024 terbukti tidak efektif menaikkan penerimaan negara. Sejak diterapkan pada awal 2023, penerimaan negara dari CHT terus menurun. Hingga akhir Juli 2023, penerimaan CHT tercatat Rp111,23 triliun, lebih rendah 8,93% dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama (yoy).

Industri

Rizanatul Fitri

JAKARTA - Kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 10% pada 2023 – 2024 terbukti tidak efektif menaikkan penerimaan negara. Sejak diterapkan pada awal 2023, penerimaan negara dari CHT terus menurun. Hingga akhir Juli 2023, penerimaan CHT tercatat Rp111,23 triliun, lebih rendah 8,93% dibandingkan dengan tahun lalu pada periode yang sama (yoy). 

Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (UGM) Kun Haribowo mengatakan kenaikan tarif cukai rokok tidak linier dengan peningkatan penerimaan cukai karena adanya perubahan pada produksi rokok. 

“Saat terjadi penurunan produksi akibat kenaikan tarif, kenaikan tarif itu justru akan menurunkan penerimaan negara dari cukai rokok karena penurunan produksi tidak bisa dikompensasi dengan kenaikan tarif,” ujarnya. 

Dengan struktur cukai saat ini, Kun menilai konsumen akan memilih rokok murah yang tarif cukainya lebih rendah, dan ini paling banyak ada di rokok golongan 2 dan golongan 3 yang lebih murah. 

“Kenaikan tarif cukai akan mengubah industri dari sisi supply dimana produsen berupaya memproduksi produk di golongan 2 dan 3 mengikuti demand downtrading konsumen. Akibatnya akan menurunkan penerimaan negara,” jelasnya. 

Perokok Beralih ke Rokok Murah Golongan 2 dan 3

Kun menyoroti bahwa kenaikan cukai 10% tidak efektif mendorong penurunan konsumsi karena perokok justru akan beralih ke rokok yang lebih murah di golongan 2 dan 3. Ia mengutip data penerimaan cukai rokok semester 1 yang menunjukkan bahwa penerimaan cukai mengalami penurunan selama 5 tahun terakhir, dan hal ini merupakan akibat dari pergeseran tersebut. 

"Pemerintah perlu memperhatikan data perubahan konsumsi dan produksi rokok pada masing-masing golongan tarif sebagai dasar dalam membuat kebijakan kenaikan tarif cukai rokok,” katanya. 

Menurutnya, dengan prinsip dan struktur tarif cukai rokok saat ini, pemerintah perlu hati-hati dalam membuat kebijakan kenaikan tarif. 

“Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, perlu membuat reformulasi terkait struktur dan tarif cukai tembakau agar terjadi keseimbangan kembali antara supply dan demand. Sehingga filosofi tujuan diterapkannya cukai rokok untuk penerimaan negara dan pengendalian konsumsi dapat tercapai,” ungkapnya.

Sosiolog UGM AB. Widyanta juga melihat bahwa penurunan penerimaan negara yang terjadi pada paruh pertama 2023 adalah hal yang wajar, mengingat sudah banyak pihak yang memprediksinya. 

“Konsumen pasti akan berpikir secara rasional bagaimana mereka mengonsumsi rokok harus didasarkan pada kekuatan daya beli mereka yang mengalami penurunan," ujar Abe, sapaan akrabnya.

Widyanta melihat banyak konsumen yang akan beralih ke produk-produk yang diracik sendiri ataupun rokok dengan harga yang lebih terjangkau di golongan 2 atau bahkan di bawahnya. Menurutnya, hal ini adalah realitas sosiologis yang muncul sebagai reaksi masyarakat terhadap rokok yang semakin tinggi harganya. 

“(Kenaikan tarif cukai) akhirnya secara sosiologis menjadi basis rasional bagi masyarakat untuk menghemat pengeluaran,” katanya. 

Terkait enomena downtrading ini, Widyanta berharap dapat menjadi bagian yang dipertimbangkan ulang oleh pemerintah dalam menentukan kebijakan kenaikan cukai

“Tentu saja ini perlu dipikirkan kembali oleh negara kalau memang akhirnya berdampak serius pada (penerimaan) negara itu sendiri,” tutupnya.