Penggunaan Hak Angket dari Masa ke Masa di Indonesia
- Di dalam UU No. 17 / 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disebutkan hak angket setidaknya diusulkan paling sedikit oleh 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
Nasional
JAKARTA- Akhir-akhir ini ramai muncul kemungkinan DPR menggunakan hak angket terkait tuduhan banyaknya kecurangan dalam Pemilu 2024. Apa sebenarnya hak angket? Bagaimana sejarah penggunaan hak tersebut dalam sejarah Republik Indonesia?
Hak Angket merupakan hak yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hak ini bisa digunakan untuk menyelidiki terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Di dalam UU No. 17 / 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) disebutkan hak angket setidaknya diusulkan paling sedikit oleh 25 anggota DPR dan lebih dari satu fraksi.
- Proyek Jalan Tol Jakarta - Cikampek (Japek) II Diproyeksikan Selesai Tahun 2024
- Perpres Publisher Rights Diharapkan Naikkan Nilai Tawar Media
- Jokowi Klaim Publisher Rights Tak untuk Kekang Kebebasan Pers
Jika hak angket terkait pelaksanaan Pemilu 2024 ini terwujud, ini bukan pertama kalinya hak tersebut digunakan DPR. Juga bukan pertama kalinya terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.
Hak angket bahkan telah digunakan sejak era pemerintahan Soekarno. Bahkan Presiden Soeharto yang terkenal kuat pun sempat terserempet hak tersebut.
Mari kita lihat penggunaan hak angket di DPR dari masa ke masa.
Masa Presiden Sukarno
Penggunaan pertama kali dari Hak Angket DPR terjadi pada pada tahun 1950-an ketika Indonesia dipimpin Presiden Soekarno. Ketika itu Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) R. Margono Djojohadikusumo mengusulkan agar DPR menggunakan Hak Angket. Tujuannya untuk menyelidiki untung-rugi penggunaan devisa oleh pemerintah sesuai dengan UU Pengawasan Deviden tahun 1940.
Hak angket terdiri dari 13 anggota dengan Margono sebagai ketuanya. Namun hingga terbentuk kabinet hasil Pemilu 1955, nasib angket tersebut tidak jelas. Seperti diketahui era 1950-1959 Indonesia menggunakan UUDS 1950 sebelum akhirnya Presiden Sukarno mengeluarkan dekrit pada tahun 1959 untuk kembali kepada UUD 1945. Sedang DPA sendiri saat ini sudah tidak ada
Era Presiden Soeharto
Pada tahun 1980, DPR juga pernah menggulirkan Hak Angket. Ini karena muncul ketidakpuasan atas jawaban Presiden Soeharto soal kasus yang menyangkut H Thahir dan Pertamina. Jawaban itu disampaikan Mensesneg Sudharmono dalam Sidang Pleno DPR pada 21 Juli 1980. Panitia angket terdiri dari 20 orang (14 orang dari FPDI, 6 dari FPP). Namun upaya ini berujung penolakan oleh Sidang Pleno DPR. Wajar karena Golkar yang merupakan partai pemerintah menjadi penguasa mutlak DPR.
Masa Presiden Abdurrahman Wahid
Era Abdurraham Wahid atau Gus Dur , anggota DPR beberapa kali menggunakan Hak Angket yang mengguncang.
Presiden mengeluarkan memorandum pembubaran parlemen. Memorandum itu pun dijawab dengan angket tentang kasus Bulog dan sumbangan sultan Brunei (Buloggate dan Bruneigate) di tahun 2000.
Selain adanya hak angket ini, pada era pemerintahan Gus Dur juga ada beberapa hak interpelasi yang digulirkan DPR. Akhirnya pada tahun 2001, Gus Dur diturunkan melalui sidang istimewa dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri yang sebelumnya adalah Wakil Presiden.
Masa Presiden Megawati Soekarnoputri
Hak Angket bergulir setelah ada kerugian negara Rp 40 miliar dalam penyelewengan dana nonbujeter Bulog. Pengadilan sudah memvonis pejabat yang terlibat kasus itu. Namun di saat bersamaan, DPR menggunakan Hak Angket sehingga putusan pengadilan pun menguap begitu saja.
Masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden yang paling sering melayani Hak Angket DPR. Ada empat yang digulirkan DPR.
1. Penjualan Kapal Tanker Pertamina
Komite Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) menilai Pertamina bersalah atas penjualan dua unit kapal tanker VLCC pada tahun 2004. DPR kemudian menggunakan Hak Angket untuk menyelidiki hal tersebut di tahun 2005.
2. Penyelesaian Kasus BLBI
Tertangkapnya Jaksa Urip Tri Gunawan membuat KPK didorong untuk menuntaskan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Namun kemudian ada indikasi penyelidikan kasus BLBI dihentikan setelah itu.
Pada Maret 2008, surat edaran untuk pengajuan Hak Angket Penyelesaian Kasus BLBI mulai diedarkan. Akhirnya Sidang Paripurna menyetujui hak angket tersebut, tetapi ada pula Tim Pengawas Hak Angket BLBI yang dibentuk.
3. DPT Pemilu 2009
Penyusunan Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2009 dipersoalkan oleh sejumlah anggota DPR. Akhirnya Hak Angket DPT Pemilu 2009 bergulir dan disetujui pada Sidang Paripurna DPR tanggal 26 Mei 2009. Panitia khusus untuk angket tersebut diketuai oleh anggota FPDIP Gayus Lumbuun. Pansus kemudian memanggil KPU dan ahli IT.
4. Hak Angket Century
Sederet nama besar dipanggil oleh Pansus Angket Century termasuk Menkeu saat itu Sri Mulyani dan Wapres Boediono. Pada Maret 2010, Ketua Pansus Hak Angket Century Idrus Marham mengumumkan kesimpulan penyelidikan.
Disebutkan ada indikasi pemerintah melakukan kesalahan dalam penanganan krisis Bank Century sehingga DPR meminta BPK melakukan audit investigasi.
Masa Presiden Joko Widodo
Hak Angkat dimunculkan DPR setelah KPK menolak memberikan rekaman BAP terhadap Miryam Haryani atas kasus e-KTP. BAP terhadap Miryam itu menyeret nama-nama besar anggota dan mantan anggota DPR.
Pada 28 April 2017 Wakil Ketua DPR saat itu yakni Fahri Hamzah memimpin sidang paripurna tiba-tiba saja mengetok palu untuk menyetujui usulan Hak Angket KPK. Padahal hujan interupsi sedang terjadi di dalam ruang sidang. Langkah Fahri itu mendorong sejumlah anggota DPR pun walk out. Fraksi Gerindra, Partai Demokrat, dan PKB menolak hak angket terhadap KPK.